.quickedit{ display:none; }

Social Icons

الاثنين، ٩ جمادى الآخرة ١٤٣٣ هـ

Tabligh Akbar Tahun 2012 Masjid al-Umm Malang

Hari Ahad, jam 08.00 – selesai,
bertempat di Masjid Jami’ Al-Umm
Jl. Joyo Agung No.1 Merjosari, Lowokwaru, Malang
Jadwal:
  • 13 Mei 2012: Ust. Asmuji Muhayat, Lc. (Madiun)
  • 10 Juni 2012: Ust. Aris Sugiantoro (Surakarta)
  • 29 Juli 2012: Ust. Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag. (Malang)
  • 30 September 2012: Ust. Kholid Syamhudi, Lc. (Surakarta)
  • 11 November 2012: Ust. Aris Munandar, S.S., M.A. (Jogjakarta)
  • 30 Desember 2012: Ust. DR. M. Arifin Badri, M.A (Jember)
Sumber:  http://www.alsofwa.com/19563/tabligh-akbar-tahun-2012-masjid-al-umm-malang.html

Kajian Rutin Forum Kajian Islam Mahasiswa (FKIM) di Sekitar Kampus UGM

Datang dan Ikuti Kajian Rutin [GRATISSS] Untuk Putra Putri :

1. “BEGINILAH GENERASI TERBAIK MENGAJARKAN”
Pemateri : Ustadz Noor Akhmad Setiawan, Ph.D
(Dosen S1 Jurusan Teknik ELektro dan Teknologi Informasi – Mahasiswa S2 Da’wah MEDIU)
Setiap Hari Rabu
Pukul 15.45 WIB – 17.00 WIB
Tempat : Mushola Teknologi Fakultas Teknik UGM
CP – 082178869292
2. “TAZKIYATUN NUFUS”
Bersama : Ustadz Abu Yassir
( Pengasuh Web www.mutiarahikmah.com )
Setiap Hari Selasa
Ba’da Shalat Ashar
Tempat : Masjid Ibnu Sina Fakultas Kedokteran UGM
CP – 08566507880
3. “KAJIAN TEMATIK “
Setiap Hari Kamis
Ba’da Shalat Dzuhur
Tempat : Mushola Al-Ihsan Fakultas Kehutanan UGM
CP – 085789109181
Penyelenggara
Forum Kajian Islam Mahasiswa ( FKIM ) Yogyakarta
SKI Teknik Kimia UGM
SKI Teknik Geodesi UGM
Takmir MusTek UGM
Takmir Masjid IbSin FK UGM
Takmir Masjid Al Ihsan Kehutanan UGM

Tidak Makan Kecuali Lapar


نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع
"Kami kaum yang tidak makan kecuali kalau lapar dan apabila kami makan maka tidak sampai kenyang"
Derajat: Tidak ada asal-usulnya.
Berkata al-Ustadz Abdul Hakim amr Abdat,"Hadits yang masyhur ini yang beredar demikian cepat dari mulut ke mulut, dari satu mimbar ke mimbar yang lain, yang disandarkan atas nama Nabi yang mulia, sama sekali tidak ada asal-usulnya. Bertahun-tahun lamanya saya mencari sanad hadits ini di kitab-kitab hadits dan yang selainnya hanya untuk mengetahui asal-usul hadits yang sangat masyhur ini, tetapi saya tidak menemukannya sampai pada hari saya menulisnya dan memasukkannya di kitab saya ini."(lihat hadits Dhoif dan maudhu beliau no.228)

Undang Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender, Tubuh Perempuan, dan Pasar

 
“Nabi Pemasaran” Philip Kotler (1931) di dalam bukunya Principles of Marketing membuat formula pemasaran fenomenal dan menjadi panduan tim pemasar perusahaan global untuk berlaga merebut hati pelanggan. Formula itu disebut  marketing mix atau bauran pemasaran yang terdiri dari 4 P (Product, Price, Place and Promotion).
Bahwa untuk memenangkan hati pelanggan melalui penetrasi pasar yang dalam, maka pemasar harus mengelaborasi aspek kualitas produk (product) yang kompetitif, harga (price) yang terjangkau, lokasi (place) yang strategis dan promosi (promotion) yang berkesinambungan. Namun kerasnya persaingan memaksa formula 4 P direvisi dalam prakteknya menjadi 5 P dengan  “P” tambahan yang berarti Perempuan. Selain empat variabel di atas, kini variabel perempuan menjadi warna baru dalam dunia bisnis. Menjadi kekuatan magnetis menyihir pelanggan sebagai medium promosi.
Rekonstruksi pasar telah menjadikan perempuan sebagai salah satu variabel atau bahkan sebagai benchmark dengan menampilkan artis perempuan papan atas untuk menguatkan pesan merek ke benak konsumen. Pada posisi ini, perempuan menjadi higlight (sorotan) dalam rangkaian panjang afirmasi pengambilan keputusan untuk membeli suatu produk.
Menyeret perempuan ke tengah pusaran  pasar tidak berjalan tunggal, tetapi melibatkan banyak komponen yang terintegrasi dalam satu desain komunikasi pemasaran audio, visual atau audio-visual. Dalam kajian feminisme dan keadilan gender, menempatkan perempuan sebagai stimulus pasar merupakan satu bentuk soft discrimination. Diskriminasi terhadap perempuan namun tanpa kekerasan fisik.
Telaah transmisi feminisme oleh Joanne Hollows (2000) mengungkapkan jika posisi perempuan di sini sebagai bagian dari lintasan produksi ke mediasi. Barang yang diiklankan bergerak diantara rezim nilai yang mereproduksi paradigma baru untuk memikat hati konsumen.  Kita ambil contoh iklan otomotif yang tidak ada kaitannya langsung dengan perempuan dijual dan ditawarkan melalui perempuan seksi berpakaian mini. Hal ini terang menyiratkan bahwa sang model (sales promotion girl)menjadikan tubuhnya sebagai medium magnetis dalam  menjual produk otomotif.
Dengan demikian, terjadi integrasi antara otomotif dan tubuh perempuan dalam mainstream pasar. Hal ini layak kita baca sebagai diskriminasi. Ia merupakan soft violence (kekerasan secara halus) yang dikendalikan dengan kesadaran paradigmatis logika bisnis.
Hal lain yang dapat kita temui pada pengemasan iklan otomotif yang memajang wanita sebagai object of men’s desire (objek keinginan pria) adalah bahwa wanita selalu bersifat materialistis seperti diilustrasikan pada iklan motor merk kenamaan, dimana seorang wanita lebih tertarik kepada pria yang menggunakan motor keluaran terbaru tersebut ketimbang tertarik dengan pria bermotor butut. Dalam hal ini, telah terjadi labelisasi materialistik pada perempuan.
Urgen Diatur di UU KKG 
Menjadi menarik kita telaah dalam kaitannya dengan Rancangan Undang Undang  Keadilan dan Kesetaraan Gender yang saat ini menuai polemik dan memantik perdebatan. Pasal 3 ayat 1 (f) Draf RUU KKG menyatakan bahwa penyelenggaraan kesetaraan gender bertujuan untuk menghapus prasangka, kebiasaan dan segala praktik lainnya yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereriotipe bagi perempuan dan laki-laki.
Jika dikonfrontir dengan contoh kasus dan penjelasan di atas, labelisasi materialistik dan sensualitas perempuan, jelas merupakan bagian dari diskriminas seperti ‘prasangka’ yang dimaksud oleh pasal 3 ayat 1 (f) diatas. Inilah yang disebut oleh  Aquarini Priyatna P. dalam bukunya Kajian Budaya Feminis (2006) sebagai komodifikasi sensualitas perempuan. Banyak sekali produk yang tidak ada hubungannya dengan tubuh perempuan, menampilkan tubuh perempuan sebagai selling point bagi produk itu, atau menjadi variebel ke lima dari 5 P dalam formula marketing mix Philip Kotler.
Dalam membaca kecantikan wanita yang dikonstruksi oleh pasar, pikiran kita akan dibawa kepada wacana bahwa cantik itu putih. Iklan yang menonjolkan tubuh perempuan sebagai medium artifialisasi menegaskan wacana serupa, yakni kulit putih itu cantik. Pemutih tidak hanya muncul dalam bentuk krim, tetapi juga pada facial wash, lotion, sabun, sampai bedak. Bahkan yang terakhir, sebuah brand deodoran ternama menawarkan sensasi putih pada ketiak sebagai sesuatu yang harus diperoleh wanita Indonesia.
Obsesi terhadap putih dan segala sesuatu yang ditandai sebagai putih, sebagaimana yang dinyatakan Aquarini dari Bell Hooks, dapat dikategorikan sebagai suatu colonial nostalgia bahkan mungkin colonial traumatic. Kulit putih telah berhasil mewacana sebagai desirable (menarik) dan desired (diinginkan). Pergeseran image putih memang telah bergeser dari putih ras Eurasia ke putih khas Jepang dan Korea. Maka tampillah iklan sabun pemutih dengan slogan “seputih wanita Jepang.” Putih atau menjadi putih seakan menjadi keharusan bagi wanita Indonesia untuk dikatakan cantik. Putih telah menjelma dari pertanda ras menjadi pertanda femininitas global. Menjadi cantik dalam perspektif masyarakat global.
Kini pasar beramai-ramai mengindoktrinasi perempuan untuk memiliki kulit putih versi Asia Timur.
Kejahatan rasial ini tentu sangat menyakitkan bagi perempuan Indonesia pada umumnya yang berkulit sawo matang. Terlebih wanita Indonesia dari wilayah timur yang dikodratkan berkulit gelap oleh Sang Pencipta. Kulit putih direpresentasikan sebagai modern dan bersih, sementara kulit gelap atau hitam digiring untuk menimbulkan kesan kuno. Permainan pasar yang kapitalis telah menggiring opini publik tentang wanita menjadi kejahatan diskriminasi mengerikan, yang justru tidak disadari oleh wanita.
Wanita telah menjelma menjadi komoditi pasar industri dengan sensualitas yang dijajakannya, sementara wanita yang lain bersibuk diperbudak doktrinasi ‘putih’ yang diciptakan pasar.
Untuk melindungi perempuan, maka tafsir diskriminasi pada Bab I pasal 1 ayat 4 Draft RUU KKG harus dipertegas. Disebutkan bawah diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawainan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.” 
Selayaknya, RUU KKG juga tidak hanya menyoroti diskriminasi langsung secara fisik yang didapatkan perempuan. Perlindungan negara terhadap perempuan dari kejahatan pasar yang menempatkan perempuan sebagai komoditas dan korban ideologi pasar yang rasialis, tak kalah mendesaknya. Jangan sampai RUU KKG berakhir taksa. Di satu sisi ia mencipta panggung perayaan kebebasan dan keadilan perempuan di ruang publik, tetapi di sisi lain gagal membaca soft discrimination yang telah sekian lama mengeksploitasi tubuh perempuan. Bila ada hak yang dijamin oleh negara terhadap wanita, maka hak dan perlindungan negara terhadap perempuan dari kekejaman kapitalisme global-lah yang mendesak dirumuskan dalam RUU KKG.
Sudah saatnya praktik-praktik diskriminasi terhadap perempuan di dunia industri  dihentikan. Selamatkan perempuan dari jerat pasar. Pemerintah harus cakap menerapkan mekanisme kontrol terhadap iklan-iklan nakal yang merebak dipasaran yang menempatkan tubuh perempuan sebagai komoditas layaknya barang dagangan. (original version)
*Oleh IVA WULANDARI | Penulis adalah Pegiat Kajian Wanita, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta | Analis Pusat Kajian dan Advokasi (PUSAKA) Pendidikan Yogyakarta
http://muslimdaily.net

الأحد، ٨ جمادى الآخرة ١٤٣٣ هـ

Hukum Merubah Uban


Pertanyaan: Asy-Syaikh ditanya bagaimanakah hukumnya merubah uban dan dengan apakah merubahnya?
Jawaban: Merubah rambut beruban hukumnya sunnah yang mana Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam telah memerintahkannyamerubahnya dengan warna apasaja selain hitam, karena Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam melarang merubahnya dengan warna hitam beliau bersabda: وجنود السواد
"jauhilah warna hitam". dalam hadits tersebut terdapat ancaman terhadap orang yang mencatnya dengan warna hitam maka yang menjadi kewajiban atas seorang mukmin adlah menjauhi mencatnya dengan warna hitam seakan dia menentang ketetapan sunnatullah dalam ciptaan-Nya, karena rambut usia muda berwarna hitam dan jika memutih dikarenakan tua atau karena sebab yang lain kemudian ia berusaha mengembalikan ketetapan ini kepada bentuk semula. Dan di dalamnya terdapat semacam upaya untuk merubah ciptaan Allah Subhanahu wata'ala. Disamping itu orang yang mengecat dengan warna hitam jelas kelihatan bahwasanya ia mencat rambutnya karena pangkal rambut itu masih terlihat putih
Seorang penyair berkata:
Kita menghitamkan atasnya namun pangkalnya enggan.
Tidaklah ada kebaikan pada cabang jika akar mengkhianatinya
(Majmu Fatawa asy-syaikh 4/121)

Jerry De Gray: Musuh Kita Fremansonry dan JIL

Jerry D Gray, mualaf asal Amerika Serikat (AS) dan penulis sejumlah buku laris ini lantang menegaskan, musuh umat Islam adalah Fremansonry dan Iluminati (dua organisasi rahasia Yahudi yang menjalankan agenda Zionisme).

Pernytaan ini disampaikan Jerry pada seminar “Islam Versus Aliran Sesat” yang diseleggarakan oleh YI Lead (Young Islamic Leader) dan YISC (Youth Islamic Study Club) Al-Azhar (29/04/2012).

“Musuh kita (umat Islam) adalah fremansonry dan iluminati. Fremansonry dan iluminati sudah masuk dalam tubuh umat Islam. Jaringan Islam Liberal (JIL) yang ada di Indonesia ini bukan lahir dari (pemahaman) Al-Quran, tapi lahir dari Policy Goverment Amerika sendiri. Itu (JIL), untuk menghancurkan Islam dari dalam, Fremansonry dari luar” ujar mantan pilot angkatan udara Amerika ini dengan bahasa Indonesia sekenanya.

Soal namanya yang masuk dalam Federal Bureau of Investigation (FBI) Watch List (daftar nama yang dicari intelejen AS) karena keberaniannya menguak borok Amerika, penulis buku “Dosa-Dosa Media Amerika Terhadap Kaum Muslimin” ini mengaku tidak takut sama sekali.
“Menurut saya sendiri, saya pakai sampo Clear, siapa takut,” jawab penulis buku “Rasulullah is my Doctor” ini berkelakar.

Senada dengan itu, Sekretaris Jendral YI Lead, Agastya Harjunadhi mengatakan bahwa Islam menghadapi dua musuh sekaligus, internal dan eksternal. Musuh internal berupa Syi’ah, JIL  dan sejumlah aliran-aliran sempalan lainnya yang mengatasnamakan Islam.

Sementara Farid Ahmad Okbah, Wakil Pimpinan MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) mengurai sebab penyimpangan aliran sesat. “Ada dua penyebabnya, azh-zhulmu (zalim) dan al-jahlu (tidak tahu)” kata Direktur Islamic Center Al-Islam, Bekasi ini di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, (29/4) siang.

“Kalau iluminati, itu gerakan di luar Islam. Semua bisa tegas menyikapinya. Sementara Syiah, mengatasnamakan Islam. Tapi menghancurkan akidah Islam dari dalam. Dan ini fakta bukan fitnah”, ujarnya geram.

Jerry dan MIUMI Sepakat Lawan JIL, Syiah, Fremansonsry dan Iluminati
Keempat pembicara, Farid Okbah, Fahmi Salim, Adnin dan Jerry D Gray sepakat Syi’ah, JIL, Fremansonry dan Iluminati sebagai musuh umat Islam.

Menyoal keekstriman pangasong liberal di Indonesia, Fahmi Salim Zubair, MA., penulis buku “Kritik Terhadap Studi Al-Quran Kaum Liberal” ini mewanti-wanti umat Islam agar mewaspadai grand strategi liberalisasi Al-Quran yang dilancarkan Jaringan Islam Liberal (JIL).

“Dari kajian yang kami lakukan, baik di INSIST (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations) maupun di MIUMI, kesimpulannya, minimal ada tiga cara Liberalis menjauhkan umat Islam dari Al-Quran. Pertama, desakralisasi Al-Quran dengan pengalihan status dari bersifat ilahi menjadi bersifat manusiawi. Kedua, rasionaliasasi teks Al-Quran yang bertujuan menghapus hambatan transendensi (keyakinan bahwa alqur’an adalah wahyu otentik dan final). Ketiga,  historisasi teks Al-Quran yang menginginkan teks Al-Quran sama dengan teks historis lainnya. Karenanya, menurut mereka, Al-Quran tak kebal kritik”, jelasnya.

Lebih tegas, lebih pedas. Adnin Armas, MA. Direktur Ekskutif INSIST,  menyayangkan banyaknya pegajar bergelar profesor dan doktor di Lembaga Pendidikan Islam Indonesia yang lancang mengangkangi Al-Quran.

“Seorang Profesor Doktor, peraih gelar doktor terbaik di Universitas Islam Negeri (UIN/dulu IAIN) Ciputat tahun 1996. Lagi-lagi dari Universitas Islam Negeri, kemudian menghalalkan perkawinan sesama jenis. Miris!”, ungkap Pemimpin Redaksi majalah Gontor ini.
“Kalau yang menolak itu orang di luar Islam itu wajar. Tapi, kalau yang menolak ini adalah pelajar Islam dan dosen yang mengajar di Universitas Islam, sungguh ini adalah permasalahan besar”, sesalnya. [muslimdaily.net/Masdar Helmi]

Istilah dan Sejarah Gender

Istilah gender baru didengar dan diperdengarkan serta “diperjuangkan” sejak pertengahan abad lalu (abad XX). Gender diperkenalkan pertama kali oleh sekelompok orang yang menamakan diri sebagai gerakan pembela perempuan dari London. Gerakan ini memperkenalkan “Gender Discourse”. Istilah gender sendiri bukanlah jenis kelamin (sex), tapi gender adalah peran yang diakibatkan dari jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan). Memang tak bisa dipungkiri peran ini tentu akan berbeda dari masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Biasanya merujuk pada kepatutan dan etika sosial yang berlaku di sebuah masyarakat. Tapi, Islam memberikan rambu-rambu besar dalam masalah ini. Ada banyak hal yang dibiarkan tetap global supaya rinciannya disesuaikan dengan keadaan.
Istilah gender baru didengar dan diperdengarkan serta “diperjuangkan” sejak pertengahan abad lalu (abad XX). Gender diperkenalkan pertama kali oleh sekelompok orang yang menamakan diri sebagai gerakan pembela perempuan dari London. Gerakan ini memperkenalkan “Gender Discourse”. Istilah gender sendiri bukanlah jenis kelamin (sex), tapi gender adalah peran yang diakibatkan dari jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan). Memang tak bisa dipungkiri peran ini tentu akan berbeda dari masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Biasanya merujuk pada kepatutan dan etika sosial yang berlaku di sebuah masyarakat. Tapi, Islam memberikan rambu-rambu besar dalam masalah ini. Ada banyak hal yang dibiarkan tetap global supaya rinciannya disesuaikan dengan keadaan.
Adapun di Indonesia, sejarah gender tak bisa dilepaskan dari kisah emansipasi perempuan, pembebasan perempuan dari keterkungkungan dan perjuangan meraih persamaan hak dan kesetaraan dengan laki-laki. Secara personal emansipasi ini mencuat dengan diterbitkannya surat-surat pribadi RA Kartini dengan istri Gubernur Hindia Belanda di Indonesia, Abendanon antara tahun 1899-1904 M. Terbitan dalam Bahasa Belanda itu diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) dicetak sebanyak lima kali sejak tahun 1911 M. Dan pada tahun 1912 M Gubernur Van Deventer mendirikan “Jam’iyah Kartini”[1].
Geliat emansipasi perempuan ini kemudian dilanjutkan secara berkelompok dan dalam Aisyiyah Muhammadiyah (1917 M), Fatayat NU (1950 M), dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) (1954 M) sebuah under bow PKI.
Gerakan emansipasi perempuan ini mengalami perubahan orientasi dari sekedar menuntut hak pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang laik, menjadi sebuah arus feminis. Yaitu gerakan yang menuntut penyetaraan dan persamaan mutlak antara kaum laki-laki dan perempuan. Terutama pasca berlangsungnya Konferensi Perempuan Internasional I di Meksiko pada tahun 1975 M.
Gerakan feminisme ini menjadi sangat liberal dengan berkembangnya aliran liberal di Indonesia. Terutama pasca euforia kebebasan setelah runtuhnya rezim Soeharto (1998 M).
Sasaran Penyetaraan Gender
Jika yang menjadi target gerakan feminisme liberal yang terselubung dalam slogan penyetaraan gender adalah perempuan, maka termasuk di dalamnya –juga- anak-anak dan rumah tangga. Jangka panjangnya adalah merusak tatanan sosial masyarakat Islam. Lihat saja –misalnya- CEDAW (The Convention on the Elimination af All Form of Discrimination Againts Women). Kesepakatan ini memuat 30 materi yang terbagi menjadi 6 pokok tema; mengatur segala hal perbedaan perlakuan yang berkaitan dengan perempuan, langkah-langkah apa saja untuk menghilangkan dan menghapuskan diskriminasi tersebut, kemudian membicarakan hak-hak pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, perilaku seksual, hak bekerja, perlindungan dalam rumah tangga, perkawinan. Selain menjelaskan tatacara merealisasikan kesepakatan ini, diatur juga bentuk pengawasan bersama baik dari pemerintah maupun NGO untuk berkomitmen menghapuskan segala bentuk perbedaan perlakuan dan diskriminasi terhadap perempuan [2].
Wacana yang semakin bebas juga dimasukkan dalam meja-meja keputusan di lingkungan PBB. Orientasi seksual dibebaskan. Pernikahan tak lagi dibatasi hanya terjadi antara dua jenis manusia, tapi memungkinkan untuk dilakukan dengan sesama jenis. Kriminalisasi terhadap homoseks dan lesbian akan menjadi pengekangan dan permusuhan terhadap HAM [3].
Tema-Tema yang Ditarget Para Pejuang Gender
Asal kejadian manusia. Bahwa sangat diskriminatif jika dikatakan bahwa Adam adalah manusia pertama. Klaim yang disosialisasikan adalah bahwa “nafsun wahidah” lah yang pertama kali diciptakan Allah, dan buka laki-laki.
Tema perwalian dan mahar dalam nikah. Adanya perwalian dan mahar dalam pernikahan, merupakan bentuk diskriminasi lain yang harus diamandemen aturannya.
Masalah thalaq. Talak yang diklaim sebagai bentuk lain hegemoni laki-laki atas perempuan juga tak luput dari sasaran target. Karena hak talak antara suami (laki-laki) dan istri (perempuan) tidaklah sama.
Hijab/Jilbab. Menutup aurat yang menjadi salah satu tanda iffah dan usaha merealisasikan ketakwaan. Namun, kewajiban kaum muslimah ini didesakralisasi dengan meluaskan wilayah khilafiyah dari yang sudah maklum; yaitu antara wajah dan kedua telapak tangan. Kemudian diperluas menjadi redefinisi dan pembatasan aurat perempuan (di depan publik dan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya) menjadi lebih luas dari itu; bukan hanya sekedar wajah dan dua telapak tangan.
Warits. Satu-satunya wacana klasik yang diperdebatkan dalam masalah ini adalah bahwa dalam masalah perwarisan perempuan mendapatkan jatah setengah bagian laki-laki. Padahal warisan adalah sebuah sistem komprehensif dab tidak boleh dipahami dan dilaksanakan secara parsial saja. Hanya ada 4 kondisi saat itu perempuan menerima setengah bagian laki-laki. Ada 8 kondisi saat itu perempuan menerima bagian sempurna seperti laki-laki. Ada 10 kondisi saat itu perempuan menerima bagian lebih banyak dari laki-laki. Bahkan ada beberapa kondisi saat itu perempuan menerima bagian, sementara laki-laki tidak mendapatkannya.
Poligami. Adapun poligami yang dihalalkan Allah disosialisasikan untuk diperangi, sebagai bentuk perbudakan dan perlakuan tidak adil yang dialami perempuan. Karena perempuan tidak diperbolehkan memiliki pasangan lebih dari satu. Sebuah upaya untuk menutupi perilaku selingkuh dan perzinahan. Hal ini memanfaatkan sisi emosional para perempuan yang memang sangat sedikit atau bahkan tak ada yang bersedia diduakan.
Kepemimpinan (qawwamah). Pembahasan kepemimpinan lokal dalam skup rumah tangga yang diluaskan seolah menjadi genderang perang terhadap Al-Quran yang diklaim menutup hak politik dan publik para perempuan.
Persaksian perempuan. Sama seperti poin-poin sebelumnya, perlakuan tak adil (diskriminatif) terhadap perempuan dalam masalah persaksian sama halnya seperti menempatkan perempuan sebagai setengah manusia.
Pendekatan yang Dilakukan
Hermeneutika
Kritik sastra
Pendekatan sejarah dan kebahasaan al-Quran
Pendekatan sosiologis dan antropologis
Pendekatan psikologis
Penutup
Semoga pengantar singkat ini bermanfaat dan bisa dilanjutkan lebih dalam di forum dialog, untuk menghasilkan masukan-masukan konstruktif yang lebih aplikatif dan mudah dipahami serta dilaksanakan.
(joe_zagazig/SCC/hdn)

Catatan Kaki:
[1] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1200 – 2008 M), Jakarta: Serambi, Cet. I, November 2008
[2] United Nations, The CEDAW and its Optinal Protocol-Handbook for Parlimentarians, Switzerland, 2003,  p. 9, 13
[3] International Commision of Jurists, Sexual Orientation, Gender Identity and International Human Rights Law-Practitioners Guide No. 4, Geneva, 2009, p. 52, 53


Sumber: http://m.dakwatuna.com/2012/02/18855/diskursus-gender-dalam-al-quran/#ixzz1tU52ZhpEAdapun di Indonesia, sejarah gender tak bisa dilepaskan dari kisah emansipasi perempuan, pembebasan perempuan dari keterkungkungan dan perjuangan meraih persamaan hak dan kesetaraan dengan laki-laki. Secara personal emansipasi ini mencuat dengan diterbitkannya surat-surat pribadi RA Kartini dengan istri Gubernur Hindia Belanda di Indonesia, Abendanon antara tahun 1899-1904 M. Terbitan dalam Bahasa Belanda itu diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) dicetak sebanyak lima kali sejak tahun 1911 M. Dan pada tahun 1912 M Gubernur Van Deventer mendirikan “Jam’iyah Kartini”[1].
Geliat emansipasi perempuan ini kemudian dilanjutkan secara berkelompok dan dalam Aisyiyah Muhammadiyah (1917 M), Fatayat NU (1950 M), dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) (1954 M) sebuah under bow PKI.
Gerakan emansipasi perempuan ini mengalami perubahan orientasi dari sekedar menuntut hak pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang laik, menjadi sebuah arus feminis. Yaitu gerakan yang menuntut penyetaraan dan persamaan mutlak antara kaum laki-laki dan perempuan. Terutama pasca berlangsungnya Konferensi Perempuan Internasional I di Meksiko pada tahun 1975 M.
Gerakan feminisme ini menjadi sangat liberal dengan berkembangnya aliran liberal di Indonesia. Terutama pasca euforia kebebasan setelah runtuhnya rezim Soeharto (1998 M).
Sasaran Penyetaraan Gender
Jika yang menjadi target gerakan feminisme liberal yang terselubung dalam slogan penyetaraan gender adalah perempuan, maka termasuk di dalamnya –juga- anak-anak dan rumah tangga. Jangka panjangnya adalah merusak tatanan sosial masyarakat Islam. Lihat saja –misalnya- CEDAW (The Convention on the Elimination af All Form of Discrimination Againts Women). Kesepakatan ini memuat 30 materi yang terbagi menjadi 6 pokok tema; mengatur segala hal perbedaan perlakuan yang berkaitan dengan perempuan, langkah-langkah apa saja untuk menghilangkan dan menghapuskan diskriminasi tersebut, kemudian membicarakan hak-hak pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, perilaku seksual, hak bekerja, perlindungan dalam rumah tangga, perkawinan. Selain menjelaskan tatacara merealisasikan kesepakatan ini, diatur juga bentuk pengawasan bersama baik dari pemerintah maupun NGO untuk berkomitmen menghapuskan segala bentuk perbedaan perlakuan dan diskriminasi terhadap perempuan [2].
Wacana yang semakin bebas juga dimasukkan dalam meja-meja keputusan di lingkungan PBB. Orientasi seksual dibebaskan. Pernikahan tak lagi dibatasi hanya terjadi antara dua jenis manusia, tapi memungkinkan untuk dilakukan dengan sesama jenis. Kriminalisasi terhadap homoseks dan lesbian akan menjadi pengekangan dan permusuhan terhadap HAM [3].
Tema-Tema yang Ditarget Para Pejuang Gender
Asal kejadian manusia. Bahwa sangat diskriminatif jika dikatakan bahwa Adam adalah manusia pertama. Klaim yang disosialisasikan adalah bahwa “nafsun wahidah” lah yang pertama kali diciptakan Allah, dan buka laki-laki.
Tema perwalian dan mahar dalam nikah. Adanya perwalian dan mahar dalam pernikahan, merupakan bentuk diskriminasi lain yang harus diamandemen aturannya.
Masalah thalaq. Talak yang diklaim sebagai bentuk lain hegemoni laki-laki atas perempuan juga tak luput dari sasaran target. Karena hak talak antara suami (laki-laki) dan istri (perempuan) tidaklah sama.
Hijab/Jilbab. Menutup aurat yang menjadi salah satu tanda iffah dan usaha merealisasikan ketakwaan. Namun, kewajiban kaum muslimah ini didesakralisasi dengan meluaskan wilayah khilafiyah dari yang sudah maklum; yaitu antara wajah dan kedua telapak tangan. Kemudian diperluas menjadi redefinisi dan pembatasan aurat perempuan (di depan publik dan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya) menjadi lebih luas dari itu; bukan hanya sekedar wajah dan dua telapak tangan.
Warits. Satu-satunya wacana klasik yang diperdebatkan dalam masalah ini adalah bahwa dalam masalah perwarisan perempuan mendapatkan jatah setengah bagian laki-laki. Padahal warisan adalah sebuah sistem komprehensif dab tidak boleh dipahami dan dilaksanakan secara parsial saja. Hanya ada 4 kondisi saat itu perempuan menerima setengah bagian laki-laki. Ada 8 kondisi saat itu perempuan menerima bagian sempurna seperti laki-laki. Ada 10 kondisi saat itu perempuan menerima bagian lebih banyak dari laki-laki. Bahkan ada beberapa kondisi saat itu perempuan menerima bagian, sementara laki-laki tidak mendapatkannya.
Poligami. Adapun poligami yang dihalalkan Allah disosialisasikan untuk diperangi, sebagai bentuk perbudakan dan perlakuan tidak adil yang dialami perempuan. Karena perempuan tidak diperbolehkan memiliki pasangan lebih dari satu. Sebuah upaya untuk menutupi perilaku selingkuh dan perzinahan. Hal ini memanfaatkan sisi emosional para perempuan yang memang sangat sedikit atau bahkan tak ada yang bersedia diduakan.
Kepemimpinan (qawwamah). Pembahasan kepemimpinan lokal dalam skup rumah tangga yang diluaskan seolah menjadi genderang perang terhadap Al-Quran yang diklaim menutup hak politik dan publik para perempuan.
Persaksian perempuan. Sama seperti poin-poin sebelumnya, perlakuan tak adil (diskriminatif) terhadap perempuan dalam masalah persaksian sama halnya seperti menempatkan perempuan sebagai setengah manusia.
Pendekatan yang Dilakukan
Hermeneutika
Kritik sastra
Pendekatan sejarah dan kebahasaan al-Quran
Pendekatan sosiologis dan antropologis
Pendekatan psikologis
Penutup
Semoga pengantar singkat ini bermanfaat dan bisa dilanjutkan lebih dalam di forum dialog, untuk menghasilkan masukan-masukan konstruktif yang lebih aplikatif dan mudah dipahami serta dilaksanakan.
(joe_zagazig/SCC/hdn)

Catatan Kaki:
[1] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1200 – 2008 M), Jakarta: Serambi, Cet. I, November 2008
[2] United Nations, The CEDAW and its Optinal Protocol-Handbook for Parlimentarians, Switzerland, 2003,  p. 9, 13
[3] International Commision of Jurists, Sexual Orientation, Gender Identity and International Human Rights Law-Practitioners Guide No. 4, Geneva, 2009, p. 52, 53


Sumber: http://m.dakwatuna.com/2012/02/18855/diskursus-gender-dalam-al-quran/#ixzz1tU52ZhpE

السبت، ٧ جمادى الآخرة ١٤٣٣ هـ

Maarif Institute Launcing Buku Pendidikan Karakter yang Rusak Karakter

JAKARTA (VoA-Islam) – Kemarin, Jum’at (27/4) di Hotel Grand Melia Alia, Cikini, Jakarta, Maarif Institut, sebuah NGO milik mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, meluncurkan dua buah buku Materi Pengayaan “Pendidikan Karakter : Mengarusutamakan Nilai-nilai Toleransi, Anti Kekerasan dan Inklusif”. Masing-masing buku itu untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan PKn untuk Tingkat SMA.

Tim Penulis buku Pendidikan Karakter untuk Mata Pelajaran PAI disusun oleh Dian Lestari, S.Ag dan Drs. Hamid Supriyatno. Sedangkan Buku Pendidikan Karakter untuk Mata Pelajaran Kewarganegaraan ditulis oleh Dr. Benny Ahmad Benyamin dan Joko Budi Santoso, S.Pd.

Peluncuran dua buku tersebut mendapat dukungan dari Kemendikbud RI bekerjasama dengan Dinas Pendidikan di empat kota/kabupaten (Dinas Pendidikan Kota Surakarta, Kota Yogjakarta, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Pandeglang. Pemerintah Daerah tersebut telah mereview program “Pendidikan karakter untuk Mengarusutamakan Nilai-nilai Toleransi, Inklusifitasm dan Anti Kekerasan”.  Rencananya, buku itu akan dibagikan ke sekolah-sekolah di berbagai daerah sebagai pembekalan bagi guru yang mengajar PAI dan PKn di sekolah, khususnya pendidikan karakter untuk siswa.

Hadir sebagai pembedah buku tersebut di depan guru-guru mata pelajaran PAI dan PKn, yakni: Wamendikbud Prof. Musliar Kasim, Hernowo Hasim (Pemerhati Masalah Pendidikan, Penerbit Mizan), dan Fajar Riza Ul Haq (Direktur Eksekutif Maarif Institute).

Buku Bernuansa Liberal

Dalam sebuah press realese yang berjudul “Merawat Toleransi dan Memutus Budaya Kekerasan”, Direktur Program Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz mengatakan, menguatnya radikalisme keagamaan dan tindakan kekerasan di kalangan pelajar SMU merupakan sebuah keprihatinan bersama. Hal tersebut ditandai oleh munculnya sikap-sikap ekstrem yang menolak ideology negara dan berbagai symbol kebangsaan.

“Kita masih temukan, misalnya pandangan yang menolak Pancasila, mengharamkan nasionalisme, yang dalam prakteknya dilakukan dengan penolakan terhadap upacara penghormatan bendera. Mengutip Buya Ahmad Syafii Maarif, fakta ini telah menodai tujuan pendidikan nasional kita, bahkan merusdsk kebangsaan yang telah dirajut sejak lama.” Kata Darraz.

Lebih lanjut Syafii Maarif mengatakan, masalah radikalisme keagamaan dan munculnya kelompok-kelompok radikal pada beberapa dekade terakhir ini, tak lain merupakan satu bentuk pelarian dari kegagalan dalam menghadapi situasi social-politik yang terjadi dewasa ini. Dan itu berakar dari ketidakadilan struktur social, politik, dan ekonomi bangsa ini.

Sedangkan Prof. Komarudin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menyatakan, kita patut cemas terhadap munculnya radikalisme di kalangan pelajar. Karena kelompok-kelompok radikal telah menjadikan para pelajar sebagai lahan bagi penyebaran doktrin radikal yang mereka miliki.

“Siswa-siswa yang masih sangat awam soal pemahaman agama dan secara psikologi tengah mencari identitas diri ini menjadi lahan yang diincar oleh pendukung ideology radikalisme. Bahkan, mereka menyusup ke sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler,” tandas Komarudin menuduh.

Direktur Eksekutif Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq menambahkan, setidaknya ada dua sebab menguatnya radikalisme keagamaan di lingkunga sekolah. Pertama, lemahnya penanaman nilai-nilai kemanusiaan dan karakter kebangsaan di dalam proses pembelajaran. Kedua, menguatnya penetrasi kelompok radikal melalui kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dengan mengajarkan cara pandang keagamaan hitam-putih, eksklusif, dan ekstrem.

Menurut Fajar, dua mata pelajaran inti, Pendidikan Agama Islam(PAI) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), yang diasumsikan sebagai kunci utama bagi pengembangan pendidikan karakter di sekolah, kini dianggap tidak efektif dalam menginternalisasikan nilai-nilai toleransi, inklusif, dan anti kekerasan.

“Pengajaran dua mata pelajaran ini tidak mampu memfilter berbagai infiltrasi sikap-sikap radikal, eksklusif, dan fanatic yang muncul dari berbagai factor di sekolah. Kurangnya bahan bacaan alternative dan jam pelajaran yang sangat terbatas menjadi sebab utama dua mata pelajaran initidak maksimal menularkan dan menanamkan nilai-nilai dan karakter kebangsaan,” tandas Fajar lebay.

Buku itu justru tidak mengajarkan siswa dengan pendidikan karakter, tapi menghantarkan siswa pada pendangkalan akidah, melunturkan tauhid, dan menjadi pribadi yang liberal, pluralis, dan sekuler. Buku ini sangat berbahaya sebagai pembekalan bagi guru-guru yang mengajar PAI dan PKn. Hendaknya umat Islam berhati-hati. Desastian
http://www.voa-islam.com

Kumpulan Murottal

Remaja Masjid Keberatan Pengatuaran Adzan

Ketua Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia Ali Mohtar Ngabalin menyatakan, keberatan jika suara azan di masjid diatur sesuai yang diusulkan oleh Wakil Presiden Boediono.

 "Saya keberatan pernyataan Wapres Boediono. Tidak cocok jika beliau bicara di Muktamar Dewan Masjid Indonesia," kata Ngabalin di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, hari ini.

 Hal tersebut disampaikan menanggapi pernyataan Wakil Presiden saat menyampaikan arahan sekaligus membuka Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia (DMI).

 Dalam sambutannya Boediono minta kepada Dewan Masjid Indonesia mulai membahas tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid. "Kita semua sangat memahami bahwa azan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban shalatnya," kata Wapres.

 Dikatakan Wapres, apa yang dirasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain yaitu bahwa suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga.

 Menurut Wapres, Al Quran pun mengajarkan kepada umat Islam untuk merendahkan suara sambil merendahkan hati ketika berdoa memohon bimbingan dan petunjukNya. Ngabalin menilai, tidak seharusnya Wapres mengatakan hal itu dalam forum muktamar DMI, dan kalau mau menyampaikan keinginannya sebaiknya di forum lain.

 "Tidak lagi zamannya bicara seperti itu. Saya tidak setuju dan sebaiknya dilakukan secara personel saja kalau memang terganggu dengan suara azan," kata Ngabalin yang juga politisi Partai Golkar.

 Dikatakan, dirinya agak terkejut dengan pernyataan Wapres tersebut dan berharap agar permasalahan ini tidak menjadi rumit.

[muslimdaily.net/beritasatu]

الخميس، ٥ جمادى الآخرة ١٤٣٣ هـ

Fenomena Ketindihan Saat Tidur



Pertanyaan:
Bismillah,

1. Apakah penyebab ketindihan saat tidur, ada yang bilang disebabkan oleh jin? 2. Adakah cara mengatasinya?
Jazakumullahu khoiron.
(Ibnu Kholid, xxxxx@yahoo.com)
Dijawab oleh: Ust. Dzulqarnain M. Sunusi
Ketindihan saat tidur disebabkan oleh banyak hal. Ada banyak hal yang berkaitan dengan kejiwaan dan kesehatan. Juga ada hal yang berkaitan dengan perbuatan Jin.
Cara terbaik untuk mengobati hal tersebut adalah melaksanakan etika-etika sebelum tidur yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, seperti berwudhu sebelum tidur dan membaca doa-doa tidur.
Doa-doa tidur yang diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam mempunyai makna dan manfaat yang sangat besar. Seharusnya setiap muslim dan muslimah mempelajari kandungan maknanya agar bacaan doa tersebut lebih dahsyat pengaruhnya untuk diri.
Obat yang paling bermanfaat untuk seluruh penyakit yang berkaitan dengan gangguan dan was-was adalah dengan tidak mempedulikannya, seakan-akan seorang tidak pernah punya masalah dengan hal tersebut.
Wallahu A’lam.
Sumber: Milis An-Nashihah

Para Imam Al Azhar Bela Mufti Jum’ah


 
 
Hidayatullah.com--Para Imam masjid dan dai Al Azhar berkumpul di Masjid Al Azhar dibawah pimpinan Syeikh Shalah Nashar imam dan khatib masjid Al Azhar untuk menyampaikan penolakan mereka terhadap pihak-pihak yang mencela Mufti Ali Jum’ah karena kunjungannya ke Al Quds, demikian lansir Al Yaum As Sabi’ (25/4/2012).
Syeikh Nashar menyatakan bahwa penghujatan kepada simbol-simbol Al Azhar bisa berlanjut kepada pihak Al Azhar, dan pihaknya tidak akan ridha dengan hal itu.
Mengenai kunjungan mufti ke Al Aqsha, dari segi syar’i  tidak ada masalah hanya dari segi politik ada perbedaan. Dan yang tertolak adalah jika perbedaan itu menyebabkan penghujatan.
Bahkan Syeikh Nashar sendiri menyampaikan jika beliau memiliki kesempatan pergi ke Al Aqsha seperti Mufti Jum’ah maka beliau akan pergi.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya bahwa kunjungan Mufti Jum’ah ke Al Aqsha dikecam banyak pihak terutama dari pihak Al Ikhwan dan Salafy Mesir. Bahkan beberapa tokoh dari kedua jama’ah itu menuntut agar Mufti Jum’ah mengundurkan diri.