.quickedit{ display:none; }

Social Icons

الخميس، ٢٠ جمادى الأولى ١٤٣٣ هـ

37 Shalawat Yang Tidak Pernah Diajarkan oleh Rasulullah

Kita banyak mendengar lafazh-lafazh bacaan shalawat untuk Nabi Õäé Çääç Ùäêç èÓäå Shallallaahu ‘alaihi wa Salam yang diada-adakan (bid’ah) yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Õäé Çääç Ùäêç èÓäå Shallallaahu ‘alaihi wa Salam, para sahabat, tabi’in, juga tidak oleh para imam mujtahid. Tetapi semua itu hanyalah buatan sebagian masyayikh (para tuan guru) di kurun belakangan ini. Lafazh-lafazh shalawat itu kemudian menjadi terkenal dikalangan orang awam dan ahli ilmu, sehingga mereka membacanya lebih banyak daripada membaca shalawat tuntunan Rasulullah Õäé Çääç Ùäêç èÓäå Shallallaahu ‘alaihi wa Salam. Bahkan mungkin mereka malah meninggalkan lafazh shalawat yang benar, lalu menyebarluaskan lafazh shalawat ajaran para syaikh mereka.
Jika kita renungkan mendalam makna shalawat-shalawat tersebut, niscaya kita akan menemukan di dalamnya pelanggaran terhadap petunjuk Rasul, orang yang kita shalawati. Di antara shalawat-shalawat bid’ah tersebut adalah:
“Ya Allah, curahkanlah keberkahan dan keselamatan atas Muhammad, penawar hati dan obatnya, penyehat badan dan pe-nyembuhnya, cahaya mata dan sinarnya, juga atas keluarga-nya.”
Sesungguhnya yang menyembuhkan, menyehatkan badan, hati dan mata hanyalah Allah semata. Dan Rasulullah Õäé Çääç Ùäêç èÓäå Shallallaahu ‘alaihi wa Salam tidak memiliki manfaat untuk dirinya, juga tidak untuk orang lain. Lafazh shalawat di atas menyelisihi firman Allah ÓÈÍÇæç è ÊÙÇäé,
“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menank kemanfa’atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang di-kehendaki Allah.” (AI-A’raaf: 188)
Juga menyelisihi sabda Rasulullah Õäé Çääç Ùäêç èÓäå Shallallaahu ‘alaihi wa Salam
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagai-mana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah Abdullah (hamba Allah) dan RasulNya.” (HR. Al-Bukhari)
Makna “ithra” yaitu melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam memuji, (ini hukumnya haram).
Di dalamnya terdapat lafazh shalawat berikut
“Ya Allah limpahkanlah keberkahan untuk Muhammad, sehingga Engkau menjadikan daripadanya (sifat) keesaan dan (sifat) terus menerus mengurus (makhluk).”
Sifat Al-Ahadiyyah dan Al-Qayyumiyyah adalah bagian dan sifat-sifat Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. Kemudian oleh syaikh tersebut, keduanya dijadikan sebagai sifat Rasulullah Õäé Çääç Ùäêç èÓäå Shallallaahu ‘alaihi wa Salam.
Ia mengatakan,
“Ya Allah, limpahkanlah keberkahan untuk Muhammad, yang dari cahayanya Engkau ciptakan segala sesuatu.”
“Segala sesuatu”, berarti termasuk di dalamnya Adam, lblis, kera, babi, lalat, nyamuk dan sebagainya. Adakah seorang yang berakal akan mengatakan bahwa semua itu diciptakan dari cahaya Muhammad? Bahkan setan sendiri mengetahui dari apa ia diciptakan, juga mengetahui dari apa Adam diciptakan, sebagaimana dikisahkan dalam AI-Qur’an,
“Iblis berkata, ‘Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau cip-takan aku dari api, sedangkan dia engkau ciptakan dari tanah.” (Shaad: 76)
Ayat di atas mendustakan dan membatalkan ucapan syaikh tersebut.
“Semoga keberkahan dan keselamatan dilimpahkan untukmu wahai Rasulullah. Telah sempit tipu dayaku maka perkenankanlah (hajatku) wahai kekasih Allah.”
Bagian pertama dari shalawat ini adalah benar, tetapi yang berbahaya dan merupakan syirik adalah pada bagian kedua. Yakni dari ucapannya:
Hal ini bertentangan dengan firman Allah ÓÈÍÇæç è ÊÙÇäé,
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepadaNya?” (An-Naml: 62)
Dan firman Allah ÓÈÍÇæç è ÊÙÇäé,
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri.” (Al-An’am: 17)
Sedangkan Rasulullah sendiri, manakala beliau ditimpa suatu kedukaan atau kesusahan, beliau berdo’a,
“Wahai Dzat Yang Maha Hidup, yang terus menerus mengurus (makhlukNya), dengan rahmatMu aku Memohon pertolongan-Mu.” (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan)
Jika demikian halnya, bagaimana mungkin kita diperbolehkan mengatakan kepada beliau, “Perkenankanlah hajat kami, dan tolong-lah kami?”
Lafazh ini bertentangan dengan sabda Rasulullah Õäé Çääç Ùäêç èÓäå Shallallaahu ‘alaihi wa Salam:
“Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
Lafazhnya:
“Ya Allah, limpahkanlah keberkahan untuk Muhammad, Sang Pembuka terhadap apa yang tertutup?”
Orang yang mengucapkan shalawat ini menyangka, bahwa barangsiapa membacanya maka baginya lebih utama daripada membaca khatam Al-Qur’an sebanyak enam ribu kali. Demikian, seperti dinukil oleh Syaikh Ahmad Tijani, pemimpin thariqah Tijaniyah.
Sungguh amat bodoh jika terdapat orang yang berakal mempercayai hal tersebut, apatah lagi jika ia seorang muslim. Sungguh amat tidak mungkin, bahwa membaca shalawat bid’ah tersebut lebih utama daripada membaca Al-Qur’an sekali, apatah lagi hingga enam ribu kali. Suatu ucapan yang tak mungkin diucapkan oleh seorang muslim.
Adapun menyifati Rasulullah dengan “Sang Pembuka terhadap apa yang tertutup” secara muthlak, tanpa membatasinya dengan kehendak Allah, maka adalah suatu kesalahan. Karena Rasulullah Õäé Çääç Ùäêç èÓäå Shallallaahu ‘alaihi wa Salam tidak membuka kota Makkah kecuali dengan kehendak Allah. Beliau juga tidak mampu membuka hati pamannya sehingga beriman kepada Allah, bahkan ia mati dalam keadaan menyekutukan Allah. Bahkan dengan tegas Al-Qur’an menyeru kepada Rasulullah Õäé Çääç Ùäêç èÓäå Shallallaahu ‘alaihi wa Salam,
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi,tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya, …” (Al-Qashash: 56)
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (AI-Fath: 1)
Pada bagian ke tujuh dari kitabnya mengatakan,
“Ya Allah, limpahkanlah keberkahan untuk Muhammad selama burung-burung merpati berdengkur dan jimat-jimat berman-faat.”
Tamimah
yaitu tulang, benang atau lainnya yang dikalungkan di leher anak-anak atau lainnya untuk menangkal atau menolak ‘ain (kena mata).
Perbuatan tersebut tidak memberi manfaat kepada orang yang mengalungkannya, juga tidak terhadap orang yang dikalungi, bahkan ia adalah di antara perbuatan orang-orang musyrik.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa mengalungkan jimat maka dia telah berbuat syirik”. (HR. Ahmad, hadits shahih)
Lafazh bacaan shalawat di atas, dengan demikian, secara jelas bertentangan dengan kandungan hadits, karena lafazh tersebut menjadikan syirik dan tamimah sebagai bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Terdapat lafazh bacaan shalawat sebagai berikut:
“Ya Allah limpahkanlah keberkahan atas Muhammad, sehingga tak tersisa lagi sedikit pun dari keberkahan, dan rahmatilah Muhammad, sehingga tak tersisa sedikit pun dari rahmat.”
Lafazh bacaan shalawat di atas, menjadikan keberkahan dan rahmat, yang keduanya merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, bisa habis dan binasa. Allah  membantah ucapan mereka dengan firman-Nya,
“Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (AI-Kahfi: 109)
lbnu Basyisy berkata,
“Ya Allah, keluarkanlah aku dari lumpur tauhid. Dan tenggelamkanlah aku dalam mata air lautan keesaan. Dan lemparkanlah aku dalam sifat keesaan sehingga aku tidak melihat, mendengar atau merasakan kecuali dengannya.”
Ini adalah ucapan orang-orang yang menganut paham Wahdatul Wujud. Yaitu suatu paham yang mendakwakan bahwa Tuhan dan makhIukNya bisa menjadi satu kesatuan.
Mereka menyangka bahwa tauhid itu penuh dengan lumpur dan kotoran, sehingga mereka berdo’a agar dikeluarkan daripadanya. Selanjutnya, agar ditenggelamkan dalam lautan Wahdatul Wujud. sehingga bisa melihat Tuhannya dalam segala sesuatu. Bahkan hingga seorang pemimpin mereka berkata,
“Dan tiadalah anjing dan babi itu, melainkan keduanya adalah tuhan kita. Dan tiadalah Allah itu, melainkan pendeta di gereja. “
Orang-orang Nasrani menyekutukan Allah (musyrik) ketika mereka mengatakan bahwa Isa bin Maryam adalah anak Allah. Adapun mereka, menjadikan segenap makhluk secara keseluruhan sebagai sekutu-sekutu Allah! Mahatinggi Allah dan apa yang diucapkan oleh orang-orang musyrik.
Oleh karena itu, wahai saudaraku sesama muslim, berhati-hatilah terhadap lafazh-lafazh bacaan shalawat bid’ah, karena akan menjerumuskanmu dalam perbuatan syirik. Berpegangteguhlah dengan apa yang datang dari Rasulullah Õäé Çääç Ùäêç èÓäå Shallallaahu ‘alaihi wa Salam, seorang yang tidak mengatakan sesuatu menurut kehendak hawa nafsunya. Dan janganlah engkau menyelisihi petunjuknya,
“Barangsiapa melakukan suatu amalan (dalam agama) yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
Shalawat nariyah telah dikenal oleh banyak orang. Mereka beranggapan, barangsiapa membacanya sebanyak 4444 kali dengan niat agar kesusahan dihilangkan, atau hajat dikabulkan, niscaya akan terpenuhi.
Ini adalah anggapan batil yang tidak berdasar sama sekali. Apalagi jika kita mengetahui lafazh bacaannya, serta kandungan syirik yang ada di dalamnya. Secara lengkap, lafazh shalawat nariyah itu adalah sebagai berikut,
“Ya Allah, limpahkanlah keberkahan dengan keberkahan yang sempurna, dan limpahkanlah keselamatan dengan keselamatan yang sempurna untuk penghulu kami Muhammad, yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik, serta diminta hujan dengan wajahnya yang mulia, dan semoga pula dilimpahkan untuk segenap keluarga, dan sahabat-nya sebanyak hitungan setiap yang Engkau ketahui.”
Aqidah tauhid yang kepadanya Al-Quranul Karim menyeru, dan yang dengannya Rasulullah  Shallallaahu ‘alaihi wa Salam mengajarkan kita, menegaskan kepada setiap muslim agar meyakini bahwa hanya Allah semata yang kuasa menguraikan segala ikatan. Yang menghilangkan segala kesedihan. Yang memenuhi segala kebutuhan dan memberi apa yang diminta oleh manusia ketika ia berdo’a.
Setiap muslim tidak boleh berdo’a dan memohon kepada selain Allah untuk menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakit-nya, bahkan meski yang dimintanya adalah seorang malaikat yang diutus atau nabi yang dekat (kepada Allah).
Al-Qur’an mengingkari berdo’a kepada selain Allah, baik kepada para rasul atau wali. Allah ÓÈÍÇæç è ÊÙÇäé berfirman,
“Katakanlah, ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memin-dahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNya dan takut akan siksaNya; sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (Al-lsra’: 56-57)
Para ahli tafsir mengatakan, ayat di atas turun sehubungan dengan sekelompok orang yang berdo’a dan meminta kepada Isa Al-Masih, malaikat dan hamba-hamba Allah yang shalih dan jenis makhluk jin.
Bagaimana mungkin Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam akan rela, jika dikatakan bahwa beliau kuasa menguraikan segala ikatan dan menghilangkan segala kesedihan. Padahal Al-Qur’an menyeru kepada beliau untuk memaklumkan,
“Katakanlah, ‘Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raaf: 188)
“Seorang laki-laki datang kepada Rasululllah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam lalu ia berkata kepada beliau, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu.” Maka Rasulullah Õäé Çääç Ùäêç è Óäå bersabda, ‘Apakah engkau menjadikan aku sebagai sekutu (tandingan) bagi Allah? Katakanlah, “Hanya atas kehendak Allah semata.” (HR. Nasaa’i, dengan sanad shahih)
Di samping itu, di akhir lafazh shalawat nariyah tersebut, terdapat pembatasan dalam masalah ilmu-ilmu Allah. Ini adalah suatu kesalahan besar.
Seandainya kita membuang kata “Bihi” (dengan Muhammad), lalu kita ganti dengan kata “BiHaa” (dengan shalawat untuk Nabi), niscaya makna lafazh shalawat itu akan menjadi benar. Sehingga bacaannya akan menjadi seperti berikut ini:
“Ya Allah, limpahkanlah keberkahan dengan keberkahan yang sempurna, dan limpahkanlah keselamatan dengan keselamatan yang sempurna untuk Muhammad, yang dengan shalawat itu diuraikan segala ikatan …”
Hal itu dibenarkan, karena shalawat untuk Nabi Õäé Çääç Ùäêç èÓäå Shallallaahu ‘alaihi wa Salam adalah ibadah, sehingga kita boleh bertawassul dengannya, agar dihilangkan segala kesedihan dan kesusahan.
Kenapa kita membaca shalawat-shalawat bid’ah yang merupakan perkataan manusia, kemudian kita meninggalkan shalawat lbrahimiyah yang merupakan ajaran AI-Ma’sum?
Sumber :http://dida.vbaitullah.or.id/

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق