.quickedit{ display:none; }

Social Icons

الأربعاء، ١٩ جمادى الأولى ١٤٣٣ هـ

Pengertian As-Sunnah dan Bid’ah

Berbicara tentang pengertian As-Sunnah, di benak orang yang terlintas hanya pengertian dengan arti 
“ apabila dikerjakan memperoleh pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa dan tidak memperoleh pahala”.
Sunnah yang dimaksud bukanlah sunnah menurut istilah fiqih yang merupakan lawan dari makruh. Artinya sebuah amalan yang apabila dilakukan akan mendapatkan pahala, apabila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. Berikut pengertian As-Sunnah baik secara bahasa maupun istilah
1.      Sunnah secara bahasa
Sunnah secara bahasa bermakna metode (at-thoriqoh)(Lisanul ‘Arab 13/226), jalan (sabiil). Salah satu dalil yang menunjukkan makna ini adalah hadits dari Abu ‘Amr Jarir ibn ‘Abdillah t bahwasannya Rasulullah r bersabda,: “Barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam sunnah yang baik, maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya. Barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang jelek, maka atasnya dosa dan dosa orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim)
2.      Pengertian As-Sunnah Menurut Syari’at
As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi r  dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.(Taisir Musthalahul Hadits (hal. 15))
3.      As-Sunnah menurut  istilah ahli ushul fiqih
Al-Amidi mengatakan: “Apa-apa yang datang dari Rasulullah r  berupa dalil-dalil syariat, yang bukan dibaca (maksudnya bukan Al-Qur`an) dan bukan mu’jizat” (Al-Ihkam (1/169))
4.      As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’)
 ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi r  dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah. (Fat-hul Baari (XIII/245-246)
5.      As-Sunnah menurut  istilah  ulama Salaf
Para ulama Salaf mengatakan bahwa As-Sunnah artinya mengamalkan Al Qur`an dan hadits serta mengikuti para pendahulu yang shalih serta ber-ittiba’ (berteladan) dengan jejak mereka. (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/428, Ta’zhimus Sunnah, hal. 18).
Ibnu Rajab t menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan As Sunnah pada asalnya adalah jalan yang ditempuh, dan itu meliputi sikap berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh Nabi r dan para khalifahnya baik berupa keyakinan, amalan, maupun ucapan. Dan inilah makna As Sunnah secara sempurna. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits no. 28).
6.      Sunnah menurut istilah ulama ahli hadits.
Yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi r, baik berupa perkataan, perbuatan, taqriir (ketetapan) beliau r, sifat jasmani, atau sifat akhlak, perjalanan setelah bi'tsah (diangkat sebagai Nabi), dan terkadang masuk juga sebagian sebelum bi`tsah. Sehingga arti as-Sunnah di sini semakna dengan al-Hadits.
Contoh-contoh dari definisi Sunnah yang dibawakan oleh ahli hadits antara lain:
a.       Hadits qauli (Sunnah dalam bentuk ucapan) ialah segala ucapan Nabi r yang ada hubungannya dengan tasyri’, sebagaimana sabda Nabi r :
“Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” HR. At-Tirmidzi (no. 2317), Ibnu Majah (no. 3976).
Dari Abu Huroiroh t, Rasulullah r bersabda: “Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Bukhari no. 5893)Dari Abu Hurairah t, Rasulullah r bersabda:“Bagian kain sarung yang terletak di bawah kedua mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. al-Bukhori, no. 5787).
b.      Hadits fi’li (Sunnah yang berupa perbuatan) ialah segala perbuatan Nabi r yang diberitakan oleh para Shahabatnya y tentang wudhu’, shalat, haji, dan selainnya.Contoh:
“Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi
r  (apabila berwudhu’), beliau menyela-nyela jenggotnya.” HR. At-Tirmidzi (no. 31), Ibnu Majah (no. 430), Shahih Ibnu Majah (no. 345).
c.       Hadits taqriri ialah segala perbuatan Shahabat yang diketahui oleh Nabi r  dan beliau r  membiarkannya (sebagai tanda setuju) dan tidak mengingkarinya. Contoh:
Dari Shahabat Abu Hurairah
t“Nabi r  bersabda kepada Bilal t setelah selesai shalat Shubuh, ‘Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan dalam Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia menjawab, ‘Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’ siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat (sunnah) beberapa raka’at yang dapat aku laksanakan.” (HR. Al-Bukhari (no. 1149) dan Muslim (no. 2458)).  
Atau kisah dua Shahabat yang melakukan safar, keduanya tidak menemukan air (untuk wudhu’) sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan shalat, kemudian setelah selesai shalat mereka menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka salah seorang dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah r dan menceritakan kejadian itu. Lalu beliau r bersabda kepada Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah.” Dan kepada yang lain (Shahabat yang mengulangi shalatnya), beliau r bersabda, “Engkau mendapatkan dua ganjaran.”  (HR. Abu Dawud (no. 338-339), an-Nasa-i (I/213) dari Abu Sa’id al-Khudri t).
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita makna As-Sunnah yang sebenarnya. Dengan demikian pengertian itu, berarti adalah mengikuti jejak Rasulullah r secara lahir dan batin, dan mengikuti jalan hidup orang-orang terdahulu dari generasi awal umat ini dari kalangan Al-Muhajirin dan Al-Anshar. Apa jadinya jika seseorang menggunakan makna as-sunnah dengan makna “ mendapatkan pahala jika melakukannya dan tidak mendapatkan pahala bila tidak melakukannya ”?. Tentu orang akan mudah-mudah dalam urusan agama bisa jadi sunnah Nabi r hilang sedikit demi sedikit darinya bahkan hal-hal  baru dalam agama akan muncul.
Padahal Nabi r bersabda:”Wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku & Sunnah Khulafa-ur Rasyidin yg telah mendapatkan petunjuk (HR. Ahmad (IV/126-127) & Abu Dawud(no.4607))
Maka dari itu untuk mengikuti sunnah rasul r adalah kewajiban bagi umat ini tanpa adanya pengurangan atau melebih-lebihkan maknanya. Mentaati Rasul r maka menjadi bagian mentaati Allah U. Sebagaimana firman Allah U:
“Artinya : Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”. [An-Nisaa : 80]
Semoga Allah U senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah r sampai di akhir hayat kita, amin.
Wallahu 'alam bish-shawaab



Pengertian Bid’ah
Saudaraku yang semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah, seringkali kita mendengar kata bid'ah, baik dalam ceramah maupun dalam untaian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, tidak sedikit di anatara kita belum memahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan bid’ah sehingga seringkali salah memahami hal ini. Bahkan perkara yang sebenarnya bukan bid’ah kadang dinyatakan bid’ah atau sebaliknya.
Tulisan ini -insya Allah- akan sedikit membahas permasalahan bid’ah dengan tujuan agar kaum muslimin bisa lebih mengenalnya sehingga dapat mengetahui hakikat sebenarnya. Sekaligus pula tulisan ini akan sedikit menjawab berbagai kerancuan tentang bid’ah yang timbul beberapa saat yang lalu di website kita tercinta ini. Sengaja kami membagi tulisan ini menjadi empat bagian. Kami harapkan pembaca dapat membaca tulisan ini secara sempurna agar tidak muncul keraguan dan salah paham. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Agama Islam Sudah Sempurna, Tidak Butuh Penambahan dan Pengurangan

Saudaraku, perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, agama Islam ini telah sempurna sehingga tidak perlu adanya penambahan atau pengurangan dari ajaran Islam yang telah ada.

Marilah kita renungkan hal ini pada firman Allah Ta’ala,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Ma’idah [5] : 3)

Seorang ahli tafsir terkemuka –Ibnu Katsir rahimahullah- berkata tentang ayat ini, "Inilah  nikmat Allah ‘azza wa jalla yang terbesar bagi umat ini di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga  mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain selain agama ini, juga tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan." (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ma’idah ayat 3)

Dua Syarat Diterimanya Amal

Saudaraku –yang semoga dirahmati Allah-, seseorang yang hendak beramal hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini telah disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatu pun.” (QS. Al Kahfi [18] : 110)

Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Inilah dua rukun diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] mencocoki ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul Hadits Al Qohiroh)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Secara tekstual (mantuq), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tertolak. Secara inplisit (mafhum), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tidak tertolak. … Jika suatu amalan keluar dari koriodor syari’at, maka amalan tersebut tertolak.

Dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yang bukan ajaran kami’ mengisyaratkan bahwa setiap amal yang dilakukan hendaknya berada dalam koridor syari’at. Oleh karena itu, syari’atlah yang nantinya menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan tersebut diperintahkan atau dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu amalan yang masih berada dalam koridor syari’at dan mencocokinya, amalan tersebutlah yang diterima. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan keluar dari ketentuan syari’at, maka amalan tersebut tertolak. (Jami’ul Ulum wal Hikam,  hal. 77-78)

Jadi, ingatlah wahai saudaraku. Sebuah amalan dapat diterima jika memenuhi dua syarat ini yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, maka amalan tersebut tertolak.

Pengertian Bid'ah

[Definisi Secara Bahasa]

Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)

Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman-Nya,

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. (Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah)

[Definisi Secara Istilah]

Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah :

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ

Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi).

Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah

طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ

Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)

Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,

وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ

“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)

Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar Royah)

Sebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah. Ada yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bid’ah secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Al ‘Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir. Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang melarang bid’ah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas dalam penjelasan selanjutnya. (Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri)

Inilah sedikit muqodimah mengenai definisi bid’ah dan berikut kita akan menyimak beberapa kerancuan seputar bid’ah. Pada awalnya kita akan melewati pembahasan ‘apakah setiap bid’ah itu sesat?’. Semoga kita selalu mendapat taufik Allah.

Simak tulisan selanjutnya mengenai "Adakah Bid'ah Hasanah?"

Sabar menanti, baca dengan tenang, tundukkan hawa nafsu dan ikutilah dalil.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh http://rumaysho.com

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق