.quickedit{ display:none; }

Social Icons

الخميس، ٢٠ جمادى الأولى ١٤٣٣ هـ

Kerancuan Sejarah Wahabi

Wahhabi dalam Sumber Sejarah

Oleh Rimbun Natamarga

Tanpa disadari banyak pihak, istilah Wahhabi atau Wahabi ternyata digunakan secara luas. Wahhabi bukan Arab Saudi. Atau, Wahhabi bukan sekedar ditujukan pada kelompok Salafi. Bukan pula terbatas hanya kepada Al-Qaeda dan Osama bin Laden.
Di Indonesia saja, kelompok-kelompok peledak bom, dari mulai kelompok Imam Samudra, Nurdin M. Top dan Dr. Azahari sampai kelompok Saifuddin Zuhri dikatakan sebagai orang-orang Wahhabi. Bahkan, Hizbut Tahrir Indonesia dan Partai Keadilan Sejahtera terkadang dikatakan publik sebagai kelompok Wahabi. Ini bagi yang jeli mengamati sejarah Islam kontemporer di Indonesia.
Sejatinya, istilah Wahhabi berasal dari pihak yang tidak menyukai Muhammad bin Abdil Wahhab, dakwah dan para pengikutnya. Pemilihan kata Wahhabi berdiri di atas dalih penghormatan mereka—orang-orang dari pihak yang tidak suka itu—terhadap Nabi Muhammad; mereka tidak mau menyandarkan julukan negatif untuk orang dan dakwah yang tidak mereka sukai kepada nama sosok yang justru mereka hormati (Nabi Muhammad). Sebab, seharusnya, kalau disandarkan gerakan Wahhabi kepada Muhammad bin Abdilwahhab, maka sebutannya adalah Muhammadi. Bukan Wahhabi.
Karena itu, adalah lumrah dalam tulisan-tulisan mereka, Muhammad bin Abdil Wahhab ditulis dengan kata ganti “Ibnu Abdil Wahhab,” “al-Wahhab,” “Abdul Wahhab” atau bahkan “Nejed.” Sepintas, bisa saja dikatakan bahwa penggunaan kata ganti yang seperti ini menuruti tradisi penulisan orang-orang Barat. Akan tetapi, kenyataan yang ada tidak seperti itu.

Dua Rujukan Umum
Secara umum, penelusuran tentang sejarah gerakan Muhammad bin Abdilwahab akan dimulai dari dua rujukan utama: Raudhatul Afkar wal Afham li Murtadi Hal Al-Imam wa Ghazawat Dzawil Islam yang juga dikenal dengan sebutan Tarikh Najd karya Husain bin Ghannam Al-Ahsai dan ‘Unwan Al-Majd fi Tarikh Najd karya Utsman bin Bisyr An-Najdi.
Husain bin Ghannam Al-Ahsai adalah murid Muhammad bin Abdil Wahhab dan ia menyaksikan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Muhammad bin Abdil Wahhab hidup. Karya Husain bin Ghannam berisi biografi dan surat-surat yang pernah ditulis oleh Muhammad bin Abdil Wahhab. Karya tersebut juga berisi keterangan tentang perang-perang yang terjadi pada waktu itu.
Dapat dikatakan, bagi kebanyakan peneliti dan penulis, karya tersebut dinilai sebagai karya penting, semacam memoar yang menceritakan kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya. Terlepas dari unsur-unsur subjektifitas yang dimiliki penulis yang bersangkutan, karya tersebut tergolong sebagai sumber primer dalam penulisan sejarah.
Berbeda dengannya, Utsman bin Bisyr An-Najdi hanya menjumpai masa pemerintahan raja Su’ud bin Abdil Aziz, seorang pemimpin Dinasti Saudi periode pertama. Ia hanya sezaman dengan anak-anak Muhammad bin Abdil Wahhab yang meneruskan dakwah ayah mereka.
Karya Utsman bin Bisyr tersebut, sebagaimana karya Husain bin Ghannam, berisi biografi Muhammad bin Abdil Wahhab dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada waktu itu. Akhir peristiwa yang diangkatnya adalah peristiwa yang terjadi pada tahun 1270 H.
Karena itu, menyangkut biografi Muhammad bin Abdil Wahhab dan dakwah yang dijalankannya, karya Utsman bin Bisyr tersebut tergolong sebagai sumber sekunder. Akan tetapi, menyangkut berbagai peristiwa yang terjadi pada masa penaklukan Hijaz oleh Dinasti Saudi sampai penaklukan Dir’iyyah oleh Turki Usmani dan periode kedua pemerintahan Dinasti Saudi, karya tersebut tergolong sumber primer.
Untuk kepentingan penulisan sejarah masa itu, karya Husain bin Ghannam dapat dijadikan rujukan utama penulisan biografi Muhammad bin Abdil Wahhab. Adapun untuk kepentingan penulisan peristiwa-peristiwa akhir periode pertama dan awal periode kedua pemerintahan Dinasti Saudi, karya Utsman bin Bisyr adalah rujukan penting yang tidak bisa diabaikan.

Memoar Mata-Mata Inggris
Belakangan ini, telah diterbitkan sebuah memoar yang diaku sebagai memoar seorang mata-mata Kerajaan Inggris di Irak pada masa Muhammad bin Abdil Wahhab hidup. Hempher, nama mata-mata itu, sebagaimana yang dituliskan dalam memoar, ditugaskan oleh pihak kerajaan pada tahun 1122 H (1710 M) ke wilayah Mesir, Irak, Hijaz dan Istanbul.
Catatan-catatan yang dibuatnya pada waktu penugasan itu dijuduli dengan “Memoirs of Hempher: The British Spy to The Middle East.” Setelah dipublikasikan, catatan-catatan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan bahasa-bahasa yang lain. Ikhlas Waqfi mempublikasikan catatan-catatan itu ke dalam bahasa Inggris dengan judul Confessions of a British Spy and British Enmity.
Dalam bahasa Indonesia, memoar Hempher itu telah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Catatan Harian Seorang Mata-Mata: Kisah Penyusupan Mata-Mata Inggris untuk Menghancurkan Islam oleh penerbit Galan pada tahun 2009. Dalam memoar tersebut, Hempher si penulis memoar, memakai kata ganti “Nejed” untuk seseorang yang diceritakan sebagai Muhammad bin Abdil Wahhab.
Selama penugasan, Hempher pernah berdiam di Basrah, Irak, menyamar dengan nama Muhammad. Di Basrah inilah, sebagaimana yang diceritakan, ia bertemu dan bersahabat dengan Muhammad bin Abdil Wahhab. Konon, pertemuan itu terjadi pada tahun 1125 H. Sejak saat itu, mereka berdua diceritakan pula menjalin pertemanan yang dekat.

Kritik atas Sumber Sejarah
Terkait dengan kepentingan penulisan sejarah, memoar tersebut dapat digolongkan sebagai sumber primer. Akan tetapi, suatu sumber, temasuk juga Tarikh Najd dan Unwan Al-Majd fi Tarikh Najd, baru dapat diterima sebagai sumber penulisan sejarah bila memenuhi dua syarat.
Pertama, keaslian (otentisitas) sumber tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Masuk ke dalam pembuktian jenis ini adalah pembuktian materi fisik sumber bila itu dokumen masa lampau (jenis kertas, tinta gaya tulisan—bila dengan tulisan tangan—atau bahkan jenis tinta yang dipakai). Selain itu, juga gaya bahasa, ungkapan-ungkapan yang dipakai, jenis huruf yang ditulis dan diksi yang ada harus dibuktikan. Pembuktian seperti ini, dalam metode penulisan sejarah, biasa dikenal dengan istilah kritik ekstern.
Kedua, setelah terbukti otentisitas sumber tersebut, maka kedapatdipercayaan (kredibilitas) sumber tersebut harus dibuktikan juga. Pembuktian seperti ini dikenal juga dengan sebutan kritik intern.
Masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah penilaian intrinsik sumber yang bersangkutan, dengan cara menilai sifat sumber dan penulis sumber. Sifat sumber menentukan penerimaan sumber tersebut. Misal saja, laporan seorang mata-mata akan berbeda sifat dengan keterangan juru bicara sang ratu kepada publik. Demikian pula dengan penulis sumber, bagaimana pun, ia harus dinilai, baik kualitasnya ataupun kapabilitasnya terhadap sumber yang bersangkutan.
Juga masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah kebenaran keterangan yang ada di dalam sumber tersebut. Pembuktian ini dilakukan dengan cara pembandingan keterangan yang ada dengan keterangan yang ada pada sumber-sumber sejarah terpercaya lainnya. Bila banyak dukungan terhadap keterangan yang dikandung itu, maka sudah didapat satu fakta sejarah yang kuat. Bila tidak, maka cukup bisa untuk diragukan keterangan tersebut.

Beberapa Pertentangan Hempher
Barangkali akan menjumpai kesulitan untuk mendapatkan dokumen asli mata-mata Inggris itu sebelum dipublikasikan. Akan tetapi, bila melihat keterangan yang dikandung memoar tersebut setelah diterjemahkan dan diterbitkan, maka salah satu bentuk pembuktian dapat dilakukan, meskipun masih tetap dianggap kurang lengkap tanpa bentuk pembuktian yang lain.
Sebagai misal di sini adalah keterangan bahwa Hempher bertemu pertama kali dengan Muhammad bin Abdil Wahhab pada tahun 1125 H. Keterangan ini, bila dibandingkan dengan keterangan yang lain jelas bertentangan.
Muhammad bin Abdil Wahhab ternyata baru memulai rangkaian perjalanan menuntut ilmunya pada tahun 1135 H, ketika ia berumur 20 tahun, ke tanah Hijaz. Baru beberapa tahun setelah itu, ia melakukan perjalanan untuk pertama kalinya ke Basrah, Irak, menemui gurunya yang bernama Syaikh Muhammad Al-Majmu’i.
Meskipun banyak yang menganggap bahwa Syaikh Muhammad Al-Majmu’i adalah Hempher, tetap saja perbedaan keterangan pada memoar Hempher itu tentang tahun pertemuan mereka dengan keterangan pada sumber-sumber yang lain dapat memberatkan untuk bisa dipercaya.
Contoh yang lain, diceritakan dalam memoar Hempher bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab sempat datang ke Persia pada waktu itu dan mempelajari bahasa Persia. Keterangan ini, setelah dibandingkan dengan keterangan-keterangan dari sumber-sumber yang lain, bertentangan.
Ternyata, Muhammad bin Abdil Wahhab, di luar kampung halamannya di Nejed hanya pernah mengunjungi Hijaz, Basroh, Zubair dan Ahsa’ selama melakukan rihlahnya. Bahkan, Syam yang menjadi salah satu tujuan pertamanya belum sempat dikunjungi karena kehabisan bekal di tengah perjalanannya.

Kesimpulan
Beberapa contoh yang telah disebutkan sudah cukup menjadi alasan untuk menolak keterangan yang diberikan Hempher. Yang menjadi masalah adalah banyak penulis menjadikan memoar Hempher itu sebagai dasar argumen bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab adalah seorang laki-laki yang disusupkan Inggris guna merusak Islam dari dalam. Demikian pula dengan dakwahnya, Wahhabi terkadang diklaim oleh sebagian pihak sebagai salah satu sekte dalam Islam yang dibentuk Inggris.
Nur Khalik Ridwan, dalam tulisan-tulisannya tentang Wahabi, memakai memoar Hempher itu untuk membangun argumen di dalam karyanya. Selain itu, amat disayangkan pula bahwa harian Republika yang menjadi salah satu surat kabar dengan sirkulasi dan publikasi luas di Indonesia pernah mengangkat artikel tentang Muhammad bin Abdil Wahhab dalam lembar “Islam Digest.” Salah satu referensi tulisan tentang Muhammad bin Abdil Wahhab di sana ternyata memoar Hempher itu.
Perkara pembuktian sumber ini memang terkesan bertele-tele. Akan tetapi, permasalahan keterangan sumber bukan sekedar permasalahan percaya atau tidak percaya. Sumber-sumber sejarah yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan kritik ekstern dan intern tidak dapat dijadikan sandaran pendapat. Keterangan yang dikandung pun belum dapat dikatakan sebagai fakta sejarah.[]

(Referensi-referensi yang digunakan dalam tulisan adalah A.M. Hendropriyono.Terorisme:Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2009; Huseyn Hilmi Isik. Catatan Harian Seorang Mata-Mata: Kisah Penyusupan Mata-Mata Inggris untuk Menghancurkan Islam. Ttp: Galan. 2009; Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah (Cetakan II). Yogyakarta: Bentang Budaya. 1997; Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah (Cetakan V). Jakarta: Penerbit UI. 1986; Nur Khalik Ridwan.Doktrin Wahhabi dan Benih-Benih Radikalisme Islam: Buku Satu. Jogjakarta: Tanah Air. 2009; danPerselingkuhan Wahhabi dalam Agama, Bisnis, dan Kekuasaan: Buku Dua. Jogjakarta: Tanah Air. 2009;dan Membedah Ideologi Kekerasan Wahhabi: Buku Tiga. Yogyakarta: Tanah Air. 2009; Mas’ud An-Nadwi. Muhammad bin Abdil Wahhab: Mushlih Mazhlum wa Muftaro ‘alaih. Riyadh: Maktabah Malik Fahd Al-Wathoniyah. 1420 H; Republika, 27 Desember 2009. Untuk artikel khusus tentang biografi Muhammad bin Abdilwahhab, dapat melihat: http://sejarah.kompasiana.com/2010/11/08/biografi-muhammad-bin-abdilwahhab/).
Sumber :  http://agama.kompasiana.com/2010/12/02/wahhabi-dalam-sumber-sejarah/

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق