.quickedit{ display:none; }

Social Icons

الاثنين، ٣٠ أبريل ٢٠١٢

Undang Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender, Tubuh Perempuan, dan Pasar

 
“Nabi Pemasaran” Philip Kotler (1931) di dalam bukunya Principles of Marketing membuat formula pemasaran fenomenal dan menjadi panduan tim pemasar perusahaan global untuk berlaga merebut hati pelanggan. Formula itu disebut  marketing mix atau bauran pemasaran yang terdiri dari 4 P (Product, Price, Place and Promotion).
Bahwa untuk memenangkan hati pelanggan melalui penetrasi pasar yang dalam, maka pemasar harus mengelaborasi aspek kualitas produk (product) yang kompetitif, harga (price) yang terjangkau, lokasi (place) yang strategis dan promosi (promotion) yang berkesinambungan. Namun kerasnya persaingan memaksa formula 4 P direvisi dalam prakteknya menjadi 5 P dengan  “P” tambahan yang berarti Perempuan. Selain empat variabel di atas, kini variabel perempuan menjadi warna baru dalam dunia bisnis. Menjadi kekuatan magnetis menyihir pelanggan sebagai medium promosi.
Rekonstruksi pasar telah menjadikan perempuan sebagai salah satu variabel atau bahkan sebagai benchmark dengan menampilkan artis perempuan papan atas untuk menguatkan pesan merek ke benak konsumen. Pada posisi ini, perempuan menjadi higlight (sorotan) dalam rangkaian panjang afirmasi pengambilan keputusan untuk membeli suatu produk.
Menyeret perempuan ke tengah pusaran  pasar tidak berjalan tunggal, tetapi melibatkan banyak komponen yang terintegrasi dalam satu desain komunikasi pemasaran audio, visual atau audio-visual. Dalam kajian feminisme dan keadilan gender, menempatkan perempuan sebagai stimulus pasar merupakan satu bentuk soft discrimination. Diskriminasi terhadap perempuan namun tanpa kekerasan fisik.
Telaah transmisi feminisme oleh Joanne Hollows (2000) mengungkapkan jika posisi perempuan di sini sebagai bagian dari lintasan produksi ke mediasi. Barang yang diiklankan bergerak diantara rezim nilai yang mereproduksi paradigma baru untuk memikat hati konsumen.  Kita ambil contoh iklan otomotif yang tidak ada kaitannya langsung dengan perempuan dijual dan ditawarkan melalui perempuan seksi berpakaian mini. Hal ini terang menyiratkan bahwa sang model (sales promotion girl)menjadikan tubuhnya sebagai medium magnetis dalam  menjual produk otomotif.
Dengan demikian, terjadi integrasi antara otomotif dan tubuh perempuan dalam mainstream pasar. Hal ini layak kita baca sebagai diskriminasi. Ia merupakan soft violence (kekerasan secara halus) yang dikendalikan dengan kesadaran paradigmatis logika bisnis.
Hal lain yang dapat kita temui pada pengemasan iklan otomotif yang memajang wanita sebagai object of men’s desire (objek keinginan pria) adalah bahwa wanita selalu bersifat materialistis seperti diilustrasikan pada iklan motor merk kenamaan, dimana seorang wanita lebih tertarik kepada pria yang menggunakan motor keluaran terbaru tersebut ketimbang tertarik dengan pria bermotor butut. Dalam hal ini, telah terjadi labelisasi materialistik pada perempuan.
Urgen Diatur di UU KKG 
Menjadi menarik kita telaah dalam kaitannya dengan Rancangan Undang Undang  Keadilan dan Kesetaraan Gender yang saat ini menuai polemik dan memantik perdebatan. Pasal 3 ayat 1 (f) Draf RUU KKG menyatakan bahwa penyelenggaraan kesetaraan gender bertujuan untuk menghapus prasangka, kebiasaan dan segala praktik lainnya yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereriotipe bagi perempuan dan laki-laki.
Jika dikonfrontir dengan contoh kasus dan penjelasan di atas, labelisasi materialistik dan sensualitas perempuan, jelas merupakan bagian dari diskriminas seperti ‘prasangka’ yang dimaksud oleh pasal 3 ayat 1 (f) diatas. Inilah yang disebut oleh  Aquarini Priyatna P. dalam bukunya Kajian Budaya Feminis (2006) sebagai komodifikasi sensualitas perempuan. Banyak sekali produk yang tidak ada hubungannya dengan tubuh perempuan, menampilkan tubuh perempuan sebagai selling point bagi produk itu, atau menjadi variebel ke lima dari 5 P dalam formula marketing mix Philip Kotler.
Dalam membaca kecantikan wanita yang dikonstruksi oleh pasar, pikiran kita akan dibawa kepada wacana bahwa cantik itu putih. Iklan yang menonjolkan tubuh perempuan sebagai medium artifialisasi menegaskan wacana serupa, yakni kulit putih itu cantik. Pemutih tidak hanya muncul dalam bentuk krim, tetapi juga pada facial wash, lotion, sabun, sampai bedak. Bahkan yang terakhir, sebuah brand deodoran ternama menawarkan sensasi putih pada ketiak sebagai sesuatu yang harus diperoleh wanita Indonesia.
Obsesi terhadap putih dan segala sesuatu yang ditandai sebagai putih, sebagaimana yang dinyatakan Aquarini dari Bell Hooks, dapat dikategorikan sebagai suatu colonial nostalgia bahkan mungkin colonial traumatic. Kulit putih telah berhasil mewacana sebagai desirable (menarik) dan desired (diinginkan). Pergeseran image putih memang telah bergeser dari putih ras Eurasia ke putih khas Jepang dan Korea. Maka tampillah iklan sabun pemutih dengan slogan “seputih wanita Jepang.” Putih atau menjadi putih seakan menjadi keharusan bagi wanita Indonesia untuk dikatakan cantik. Putih telah menjelma dari pertanda ras menjadi pertanda femininitas global. Menjadi cantik dalam perspektif masyarakat global.
Kini pasar beramai-ramai mengindoktrinasi perempuan untuk memiliki kulit putih versi Asia Timur.
Kejahatan rasial ini tentu sangat menyakitkan bagi perempuan Indonesia pada umumnya yang berkulit sawo matang. Terlebih wanita Indonesia dari wilayah timur yang dikodratkan berkulit gelap oleh Sang Pencipta. Kulit putih direpresentasikan sebagai modern dan bersih, sementara kulit gelap atau hitam digiring untuk menimbulkan kesan kuno. Permainan pasar yang kapitalis telah menggiring opini publik tentang wanita menjadi kejahatan diskriminasi mengerikan, yang justru tidak disadari oleh wanita.
Wanita telah menjelma menjadi komoditi pasar industri dengan sensualitas yang dijajakannya, sementara wanita yang lain bersibuk diperbudak doktrinasi ‘putih’ yang diciptakan pasar.
Untuk melindungi perempuan, maka tafsir diskriminasi pada Bab I pasal 1 ayat 4 Draft RUU KKG harus dipertegas. Disebutkan bawah diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawainan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.” 
Selayaknya, RUU KKG juga tidak hanya menyoroti diskriminasi langsung secara fisik yang didapatkan perempuan. Perlindungan negara terhadap perempuan dari kejahatan pasar yang menempatkan perempuan sebagai komoditas dan korban ideologi pasar yang rasialis, tak kalah mendesaknya. Jangan sampai RUU KKG berakhir taksa. Di satu sisi ia mencipta panggung perayaan kebebasan dan keadilan perempuan di ruang publik, tetapi di sisi lain gagal membaca soft discrimination yang telah sekian lama mengeksploitasi tubuh perempuan. Bila ada hak yang dijamin oleh negara terhadap wanita, maka hak dan perlindungan negara terhadap perempuan dari kekejaman kapitalisme global-lah yang mendesak dirumuskan dalam RUU KKG.
Sudah saatnya praktik-praktik diskriminasi terhadap perempuan di dunia industri  dihentikan. Selamatkan perempuan dari jerat pasar. Pemerintah harus cakap menerapkan mekanisme kontrol terhadap iklan-iklan nakal yang merebak dipasaran yang menempatkan tubuh perempuan sebagai komoditas layaknya barang dagangan. (original version)
*Oleh IVA WULANDARI | Penulis adalah Pegiat Kajian Wanita, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta | Analis Pusat Kajian dan Advokasi (PUSAKA) Pendidikan Yogyakarta
http://muslimdaily.net

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق