Bismillaahirrohmaanirrohiim
.::KH. Arwani Faishal adalah Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masaa`il PBNU::.
I’tikaf adalah berdiam di dalam masjid dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada setiap bulan Ramadhan selama 10 hari yang terakhir, selalu melaksanakan i’tikaf. Bahkan secara khusus –pada tahun wafatnya-, beliau beri’tikaf pada bulan Ramadhan itu selama 20 hari, sebagaimana yang termaktub dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullaah dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
Pelaksanaan I’tikaf Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallaahu ‘anhum selama 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan itu erat kaitannya dengan Lailatul Qadar. Dalam artian, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallaahu ‘anhum beri’tikaf atau bertekun-tekun ibadah untuk berjaga-jaga ketika turun Lailatul Qadar.
Sedikitpun tidak disangsikan lagi bahwa tempat pelaksanaan I’tikaf itu adalah masjid. Namun, masalahnya adalah masjid yang mana? Sementara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melaksanakan I’tikaf di masjidnya sendiri, yakni masjid Nabawi di Madinah. Oleh sebab itu, ada banyak pendapat mengenai dimana seharusnya I’tikaf itu dilaksanakan lantaran pengertian masjid di tempat I’tikaf yang ditunjukkan Al-Qur’an masih dianggap relatif.
Allah berfirman, “Sedangkan kalian beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al-Baqarah: 187)
Pendapat pertama: I’tikaf itu hanya dapat dilaksanakan di tiga masjid saja, yakni Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di kota Madinah dan Masjid Al-Aqsha di Palestina. Dimana pendapat ini didasarkan pada hadits yang menjelaskan bahwa dilarang atau tidak diberangkatkan kendaraan kecuali menuju tiga masjid tersebut di atas.
Pendapat kedua: I’tikaf itu harus dilaksanakan di masjid Jami’ … (NU online)
Komentar Penulis:
Alhamdulillah ada lagi Kyai yang berani berfatwa sesuai dengan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits yang shahih. Fatwa KH. Arwani Faishal (Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masaa`il PBNU) ini benar sesuai dengan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits yang shahih. Sebelumnya juga ada KH. Abdurrahman Navis, Lc, M.HI wakil Katib Syuriyah PWNU Jawa Timur juga berani mengharamkan acara “Rebo Wekasan”, padahal di tempat kami masih diselenggarakan tiap tahun! (Harian Duta, Sabtu 14 Februari 2009).
Namun, fatwa KH. Arwani Faishal (Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masaa`il PBNU) ini akan bertolak belakang bila kita lihat fakta di lapangan. Tengok mereka yang beri’tikaf di masjid yang ada kuburan para wali (Wali Songo), mereka I’tikafnya bukan di masjid, tapi di kuburannya. Antum bisa melihatnya ketika malam Jum’at Legi atau malam Likuran (10 malam terakhir) di bulan Ramadhan, kuburannya penuh sesak dengan mereka yang beri’tikaf atau ibadah lainnya, misalnya: membaca Al-Qur’an, berdoa untuk dirinya agar tercapai maksud dan tujuannya, agar dihilangkan beban yang menjadi tanggungannya dan lain-lain. Hal ini bertentangan dengan dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Dan ketahuilah! Sesungguhnya orang yang terjelek adalah orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid” (HR. Ahmad dalam Musnad no. 1696)
Begitu juga dengan dengan sabda beliau, “Jangan bersih keras untuk melaksanakan perjalanan (untuk ibadah) kecuali menuju ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan masjid Al-Aqsha” (HR. Al-Bukhari no. 1189)
Hadits diatas sungguh bertolak belakang dengan keadaan umat Islam (NU) di Indonesia. Mereka menyamakan kuburan para Sunan/Wali Songo, kyai, habib, dan Gus yang tersebar di seluruh Nusantara ini sama dengan Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha, sehingga mereka rela mengeluarkan biaya yang besar untuk bepergian (mereka namakan dengan wisata religi) dengan menggunakan bis carteran, berombongan, berbondong-bondong, ikhtilat campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dalam satu bis menuju kuburan yang sama selama berhari-hari bahkan hingga berminggu-minggu. Mereka berletih, bersusah payah meninggalkan pekerjaan, anak, suami/istri dan kewajiban-kewajiban lainnya.
Mudah-mudahan fatwa KH. KH. Arwani Faishal (Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masaa`il PBNU) ini dapat menggugah mereka yang tidak menyadari bahwa perbuatan atau ziarah dengan cara tersebut di atas tidak dibenarkan, termasuk ziarah yang kebablasen (keluar jalur) dan bisa menggolongkan mereka ke dalam golongan sejelek-jeleknya makhluk di bumi ini. Mudah-mudahan mereka menyadari kesalahan mereka ini dan bertobat kepada Allah dengan taubatan nasuhah.
Diketik ulang oleh Aqil Azizi dari buku Sesat Tanpa Sadar Terobsesi Amaliah Bid’ah Hasanah oleh KH. Makhrus Ali –hafizhahullaah-
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق