Mereka telah menganggap tasbeh memiliki berbagai karamah, keadaan dan bentuk yang tidak mungkin disebutkan di dalam kitab ini. Di antaranya, kisah yang telah disebutkan terdahulu yang bersumber dari Abu Muslim al-Khaulani, lalu tasbeh milik Abul Wafa yang baru saja disebutkan di atas, juga kisah yang telah disebutkan oleh Imam as-Suyuthi, seraya berkata, ‘Sungguh aku telah diberi informasi oleh seorang yang aku percaya?!, bahwasanya dia pernah bersama suatu kafilah (rombongan) dalam perjalanan menuju Baitul Maqdis, lalu tiba-tiba dihadang oleh sekelompok orang-orang Arab yang menelanjangi seluruh anggota rombongan tersebut dan termasuk diriku. Ketika orang-orang tersebut melepas surbanku, maka tasbeh jatuh dari kepalaku terjatuhlah, dan mereka pun melihatnya, maka mereka berkata, “Orang ini mempunyai tasbîh.” Lalu mereka pun mengembalikan kepadaku barang-barang milikku yang telah diambil, dan aku pun pergi dalam keadaan selamat dari ulah mereka.”
As-Suyuthi berkata, “Wahai saudaraku, coba lihatlah alat (benda) yang diberkahi yang bersinar ini beserta kebaikan dunia dan akhirat yang terkandung di dalamnya?!!”
Selanjutnya, terjadilah perkembangan berikutnya, tasbeh dianjurkan supaya dikalungkan di leher, sehingga al-Banni Muhammad bin Abdussalam, alias Ibnu Hamdun al-Fasi rahimahullah (w. 1163 H), telah menulis sebuah risalah (tesis) yang berjudul:“Tuhfat Ahl al-futuhat wa al-adzwaq fi ittikhadz as-subhah wa ja’liha bi al-a’naq” (sebuah persembahan dari orang-orang yang terbuka hatinya dan punya perasaan mengenai penggunaan tasbeh dan pengalungannya di leher). Risalah ini telah dicetak setebal 156 halaman.
Bahkan tidak hanya itu, permasalahannya telah sampai pada tingkat menjalankan ibu jari dan jari telunjuk dengan sangat cepat di atas butiran-butiran tasbeh, sehingga waktu pemutaran tasbehnya tidak bersamaan dengan ucapan: “Subhanallah”(Mahasuci Allah ta'ala) sebanyak dua kali atau tiga kali (Lebih cepat putaran tasbeh daripada bacaan dzikirnya).
Dalam hal ini, terjadilah kerusakan akidah (keyakinan), yaitu mulai dari saling mewarisi tasbeh tersebut dari sebagian orang-orang shalih, meyakininya, memeliharanya, sampai mewakafkannya. Bahkan, ada sebagian petugas yang mengurusi masalah wakaf yang mempunyai tas kecil berisi kumpulan tasbeh, yang digunakannya untuk mendatangi orang-orang awam untuk bertasbîh bersama mereka (yang pahalanya) ditujukan kepada arwah si pewakafnya. Sedangkan sebagian orang yang cinta kebaikan ada yang sengaja menggantungkannya di dalam berbagai masjid agar digunakan oleh siapa saja yang hendak bertasbih. Penulis pernah menyaksikan sendiri hal itu di beberapa negara di dunia Islam.
Tasbeh ini pun telah menjadi ajang berbuat riya’ (pamer), memperlihatkan ibadah bagi sebagian orang yang dipermainkan oleh setan. Ia dijadikan sebagai simbol ahli dzikir, padahal dia termasuk orang-orang yang merusak urusan dunia dengan agama.
Seorang penyair bernama Muhammad al-Asmar -sebagaimana telah disebutkan oleh al-Jundi di dalam tulisannya yang berjudul “Tasbîh dan orang-orang yang bertasbîh” (as-subhah wa al-musabbihun)- mempunyai qasidah di dalam 18 bait sya’ir, di dalamnya ia menceritakan beberapa keadaan orang-orang yang bertasbîh dengan tasbeh. Dia bertutur: “Terkadang tasbeh itu terlihat di dalam toko, seperti dia terlihat di dalam masjid. Sebagian butiran tasbeh itu merupakan bencana dan sejelek-jelek bilangan. Jerat sang penipu, yang jika bertemu seekor keledai maka akan menjeratnya. Tasbeh itu pun dia bawa di telapak tangannya, padahal tasbeh itu tak lain kerusakan yang dibuat sang perusak. Dan barangsiapa yang melihatnya, maka akan menyangka tasbeh itu sebagai petunjuk bagi orang yang mendapat hidayah.”
Ketahuilah, bahwa kalangan tarekat sangat bergantung dan menyukai tasbeh, sehingga bagi mereka tasbeh menjadi sebuah simbol dan slogan. Setiap aliran tarekat menyebutnya sebagai karamah, keistimewaan dan sifat-sifat yang tidak pernah terdetik di dalam hati. Lalu, tasbeh itu pun menjadi bagian dari kebutuhan jalan (untuk bisa sampai kepada Allah ta'ala) pada tahap permulaan maupun pada tahapan terakhir (setelah mencapai tingkat ma`rifat. Penj), dan menjadi kebiasaan seorang murîd(pelajar tarekat pemula). Jika penulis mau menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan tasbeh di kalangan kaum tarekat (sufi), tentang ucapan dan perbuatan mereka, tentu pembahasannya menjadi sangat panjang, dan semuanya bermula pada satu muara, yaitu: sikap ghuluw (pengkultusan) dan israf (berlebih-lebihan) dari satu sisi, serta bisikan-bisikan dan persepsi-persepsi setan dari sisi lain. Begitulah, seorang yang tersesat dari petunjuk Nabi, maka dia akan terperosok ke dalam berbagai kerancuan semacam ini.
Di sini, saya cukupkan pembicaraan ini dengan menuturkan beberapa petikan kalimat langsung dari kitab “Tuhfat Ahl al-futuhat wa al-adzwaq fi ittikhadz as-subhah wa ja’liha bi al-a’naq wa ba’dh al-Adab….”, karangan Fathullah bin Abu Bakar bin ‘Abdussalam bin Hamdun al-Bannani asy-Syadzili ad-Darqawi (w. 1353 H), mengingat kitab ini memuat 156 halaman, dari halaman 3-20 membahas masalah tasbeh, sedang yang selebihnya berbicara tentang berbagai etika dalam aliran tarekat. Saya paparkan petikan kalimatnya di sini dengan menyebutkan tema-temanya, agar perhatian pun tertuju kepada berbagai isinya yang dinisbatkan kepada syariat secara tidak bertanggung-jawab. Petikan kalimat tersebut, antara lain:
Tasbeh Syaikh as-Salawi
Dalam kitab kami “ath-Thabaqat” mengenai biografi Syaikh as-Salawi -semoga dengannya Allah ta'ala memberi manfaat kepada kami-, yaitu sewaktu membicarakan tentang mujahadah (upaya keras melawan rong-rongan nafsu) dan khalwat(penyepian) yang dilakukannya di belakang masjid Jami’ al-Andalus di kota Pas -semoga Allah ta'ala tetap menjaganya- disebutkan: “Sungguh aku sempat mengunjungi tempat pertapaan yang diberkahi ini setelah kematian beliau dalam salah satu pelesiran sewaktu aku berada di kota Pas untuk mengunjungi guru kami yang bernama Idris, juga bapaknya, saudara-saudara, para wali yang berada di sana, dan kaum migran -semoga dengan mereka Allah ta'ala memberi manfaat kepada kami-. Di sana, aku melihat sebuah tasbeh yang konon beliau gunakan untuk berdzikir, dan aku pun ber-tabarruk dengannya. Tasbeh itu berukuran sangat besar dalam posisi digantungkan di atap tempat pertapaan tersebut sebagai bentuk penghormatan dan menjaganya, mengingat dia sebagai alat untuk membantu di dalam jihad yang maha besar. Sementara atap yang digantunginya sekilas terlihat sangat tinggi, namun tasbeh tersebut masih tetap menyentuh tanah, dan beliau menggunakan tasbeh tersebut dalam keadaan seperti itu. Dan untuk tasbeh itu telah dibuatkan alat penarik (derek) untuk mempermudah perputarannya. Beberapa ulama besar pernah berkata, “Kalau sekiranya memungkinkan bagi kami untuk bertasbîh dengan gunung, pasti kami lakukan.” Maksudnya, biji tasbeh tersebut akan dibuat sebesar gunung atau setara dengannya, mengingat di situ terdapat berbagai rahasia yang akan diketahui oleh orang yang membiasakan diri untuk ber-mujahadah dalam bimbingan ulama terkemuka.”
[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]
As-Suyuthi berkata, “Wahai saudaraku, coba lihatlah alat (benda) yang diberkahi yang bersinar ini beserta kebaikan dunia dan akhirat yang terkandung di dalamnya?!!”
Selanjutnya, terjadilah perkembangan berikutnya, tasbeh dianjurkan supaya dikalungkan di leher, sehingga al-Banni Muhammad bin Abdussalam, alias Ibnu Hamdun al-Fasi rahimahullah (w. 1163 H), telah menulis sebuah risalah (tesis) yang berjudul:“Tuhfat Ahl al-futuhat wa al-adzwaq fi ittikhadz as-subhah wa ja’liha bi al-a’naq” (sebuah persembahan dari orang-orang yang terbuka hatinya dan punya perasaan mengenai penggunaan tasbeh dan pengalungannya di leher). Risalah ini telah dicetak setebal 156 halaman.
Bahkan tidak hanya itu, permasalahannya telah sampai pada tingkat menjalankan ibu jari dan jari telunjuk dengan sangat cepat di atas butiran-butiran tasbeh, sehingga waktu pemutaran tasbehnya tidak bersamaan dengan ucapan: “Subhanallah”(Mahasuci Allah ta'ala) sebanyak dua kali atau tiga kali (Lebih cepat putaran tasbeh daripada bacaan dzikirnya).
Dalam hal ini, terjadilah kerusakan akidah (keyakinan), yaitu mulai dari saling mewarisi tasbeh tersebut dari sebagian orang-orang shalih, meyakininya, memeliharanya, sampai mewakafkannya. Bahkan, ada sebagian petugas yang mengurusi masalah wakaf yang mempunyai tas kecil berisi kumpulan tasbeh, yang digunakannya untuk mendatangi orang-orang awam untuk bertasbîh bersama mereka (yang pahalanya) ditujukan kepada arwah si pewakafnya. Sedangkan sebagian orang yang cinta kebaikan ada yang sengaja menggantungkannya di dalam berbagai masjid agar digunakan oleh siapa saja yang hendak bertasbih. Penulis pernah menyaksikan sendiri hal itu di beberapa negara di dunia Islam.
Tasbeh ini pun telah menjadi ajang berbuat riya’ (pamer), memperlihatkan ibadah bagi sebagian orang yang dipermainkan oleh setan. Ia dijadikan sebagai simbol ahli dzikir, padahal dia termasuk orang-orang yang merusak urusan dunia dengan agama.
Seorang penyair bernama Muhammad al-Asmar -sebagaimana telah disebutkan oleh al-Jundi di dalam tulisannya yang berjudul “Tasbîh dan orang-orang yang bertasbîh” (as-subhah wa al-musabbihun)- mempunyai qasidah di dalam 18 bait sya’ir, di dalamnya ia menceritakan beberapa keadaan orang-orang yang bertasbîh dengan tasbeh. Dia bertutur: “Terkadang tasbeh itu terlihat di dalam toko, seperti dia terlihat di dalam masjid. Sebagian butiran tasbeh itu merupakan bencana dan sejelek-jelek bilangan. Jerat sang penipu, yang jika bertemu seekor keledai maka akan menjeratnya. Tasbeh itu pun dia bawa di telapak tangannya, padahal tasbeh itu tak lain kerusakan yang dibuat sang perusak. Dan barangsiapa yang melihatnya, maka akan menyangka tasbeh itu sebagai petunjuk bagi orang yang mendapat hidayah.”
Ketahuilah, bahwa kalangan tarekat sangat bergantung dan menyukai tasbeh, sehingga bagi mereka tasbeh menjadi sebuah simbol dan slogan. Setiap aliran tarekat menyebutnya sebagai karamah, keistimewaan dan sifat-sifat yang tidak pernah terdetik di dalam hati. Lalu, tasbeh itu pun menjadi bagian dari kebutuhan jalan (untuk bisa sampai kepada Allah ta'ala) pada tahap permulaan maupun pada tahapan terakhir (setelah mencapai tingkat ma`rifat. Penj), dan menjadi kebiasaan seorang murîd(pelajar tarekat pemula). Jika penulis mau menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan tasbeh di kalangan kaum tarekat (sufi), tentang ucapan dan perbuatan mereka, tentu pembahasannya menjadi sangat panjang, dan semuanya bermula pada satu muara, yaitu: sikap ghuluw (pengkultusan) dan israf (berlebih-lebihan) dari satu sisi, serta bisikan-bisikan dan persepsi-persepsi setan dari sisi lain. Begitulah, seorang yang tersesat dari petunjuk Nabi, maka dia akan terperosok ke dalam berbagai kerancuan semacam ini.
Di sini, saya cukupkan pembicaraan ini dengan menuturkan beberapa petikan kalimat langsung dari kitab “Tuhfat Ahl al-futuhat wa al-adzwaq fi ittikhadz as-subhah wa ja’liha bi al-a’naq wa ba’dh al-Adab….”, karangan Fathullah bin Abu Bakar bin ‘Abdussalam bin Hamdun al-Bannani asy-Syadzili ad-Darqawi (w. 1353 H), mengingat kitab ini memuat 156 halaman, dari halaman 3-20 membahas masalah tasbeh, sedang yang selebihnya berbicara tentang berbagai etika dalam aliran tarekat. Saya paparkan petikan kalimatnya di sini dengan menyebutkan tema-temanya, agar perhatian pun tertuju kepada berbagai isinya yang dinisbatkan kepada syariat secara tidak bertanggung-jawab. Petikan kalimat tersebut, antara lain:
Tasbeh Syaikh as-Salawi
Dalam kitab kami “ath-Thabaqat” mengenai biografi Syaikh as-Salawi -semoga dengannya Allah ta'ala memberi manfaat kepada kami-, yaitu sewaktu membicarakan tentang mujahadah (upaya keras melawan rong-rongan nafsu) dan khalwat(penyepian) yang dilakukannya di belakang masjid Jami’ al-Andalus di kota Pas -semoga Allah ta'ala tetap menjaganya- disebutkan: “Sungguh aku sempat mengunjungi tempat pertapaan yang diberkahi ini setelah kematian beliau dalam salah satu pelesiran sewaktu aku berada di kota Pas untuk mengunjungi guru kami yang bernama Idris, juga bapaknya, saudara-saudara, para wali yang berada di sana, dan kaum migran -semoga dengan mereka Allah ta'ala memberi manfaat kepada kami-. Di sana, aku melihat sebuah tasbeh yang konon beliau gunakan untuk berdzikir, dan aku pun ber-tabarruk dengannya. Tasbeh itu berukuran sangat besar dalam posisi digantungkan di atap tempat pertapaan tersebut sebagai bentuk penghormatan dan menjaganya, mengingat dia sebagai alat untuk membantu di dalam jihad yang maha besar. Sementara atap yang digantunginya sekilas terlihat sangat tinggi, namun tasbeh tersebut masih tetap menyentuh tanah, dan beliau menggunakan tasbeh tersebut dalam keadaan seperti itu. Dan untuk tasbeh itu telah dibuatkan alat penarik (derek) untuk mempermudah perputarannya. Beberapa ulama besar pernah berkata, “Kalau sekiranya memungkinkan bagi kami untuk bertasbîh dengan gunung, pasti kami lakukan.” Maksudnya, biji tasbeh tersebut akan dibuat sebesar gunung atau setara dengannya, mengingat di situ terdapat berbagai rahasia yang akan diketahui oleh orang yang membiasakan diri untuk ber-mujahadah dalam bimbingan ulama terkemuka.”
[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]
http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatdoa&id=484