.quickedit{ display:none; }

Social Icons

الثلاثاء، ١ رجب ١٤٣٣ هـ

Membongkar Densus 88 Anti Teror

Detasemen Khusus 88 Anti Teror atau Densus 88 adalah unit satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan terorisme di Indonesia. satuan khusus yang berkapasitas 400 personel ini mendapat pelatihan khusus dari mantan pasukan khusus AS dari FBI, CIA,  dan U.S Secret Service. Satuan ini diresmikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Firman Gani pada tanggal 26 Agustus 2004.

Detasemen berlambang burung hantu ini, personelnya direkrut dari polisi-polisi terbaik dari seluru Indonesia. Untuk mendukung operasional kerja anggota Densus 88, Detasemen ini dilengkapi dengan persenjataan lengkap dari AS, seperti senapan serbu Colt M4, senapan serbu Steyr AUG, HK MP5, senapan penembak jitu Armalite AR-10, dan Shoghun Remington 870, bahkan dikabarkan satuan ini akan memiliki pesawat C-130 Hercules sendiri untuk meningkatkan mobilitasnya.

kinerja Densus 88 banyak dipertanyakan di kalangan pengamat hukum dan masyarakat, dan banyak melihat Densus sering melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan hukum (unprosedural) serta kurang bisa berkoodinasi dengan lembaga TNI dan BIN. Bukti yang paling nyata adalah kasus penanganan teorisme di Medan (Sumatera Utara) baru-baru ini. 


Dengan dipimpin langsung oleh Kalakhar BNN Komjen Gories Mere, Densus 88 Anti Teror ( yang sebenarnya sudah dibubarkan) menyerbu Bandara Polonia Medan tanpa mau melakukan koordinasi dengan TNI Angkatan Udara yang menjadi Tuan Rumah di Bandara Polonia Medan. Densus 88 Anti Teror pimpinan Gories Mere dikecam oleh TNI AU pasca penyerbuan Bandara Polonia Medan, TNI AU melayangkan surat protes secara resmi ke Polda Sumut.

Besarnya gelombang protes dan keluhan dari publik terhadap kinerja Densus 88, adalah bukti lain terhadap buruknya kinerja Densus 88, Keluhan-keluhan tersebut berupa tindakan salah tembak yang telah berulang berkali-kali, penangkapan yang keliru, dan proses persidangan yang didramatisir. 


Dan Jika hal ini tidak segera dibenahi maka densus yang sejatinya memberikan rasa keamanan bagi masyarakat malah menjadi momok yang menakutkan di mata masyarakat, dan tak ubahnya dengan teroris bertopeng aparat hukum dan menjadi “teror Negara” kepada masyarakatnya.

Setidaknya, ada beberapa hal yang dipertanyakan publik, terkait penangkapan yang tak sesuai prosedur hukum, tembak mati terhadap mereka yang terduga teroris, hingga persidangan yang penuh rekayasa. Tak terkecuali, keberadaan senjata yang ditemukan polisi di Tempat Kejadian Peristiwa (TKP), dan tudingan polisi terhadap aktivis Islam tertentu, atas sangkaan memberi bantuan pendanaan bagi teroris.

Kasus salah tangkap misalnya terjadi saat sejumlah aktifis pengajian Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) di Pejaten, pasar minggu, Jakarta Selatan. Dari seluruh aktifis yang ditangkap kemudian dibebaskan karena tidak memiliki bukti yang kuat adanya keterlibatan tindak pidana teroris. Maka tidak salah kalau kemudian pihak TPM mengatakan kalau penangkapan di Pejaten penuh dengan rekayasa dan didramatisir.

Kontroversi lain dari tindakan Densus 88 adalah menembak mati (extra judicial killing) terhadap mereka yang diduga teroris. Padahal masih dugaan, bukan tersangka apalagi terdakwa. Eksekusi di Cawang misalnya, dari tiga yang tertembak, dua dikenali, seorang lagi tidak dikenali identitasnya. 


Pertanyaannya, kalau belum dikenal, mengapa mereka dianggap teroris dan langsung ditembak mati. “Jika cara-cara seperti diteruskan, maka akan semakin banyak orang tak bersalah yang menjadi korban” kata koordinator TPM Mahendradata (Majalah SABILI NO 24 TH XV11 24 Juni 2010).


Tren menembak mati juga merambah pada orang-orang yang selama ini tidak dikenal sebagai teroris. Sebut saja kasus penyerbuan terhadap perangkai bunga Hotel Ritz Carlton, Ibrahim, di dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Penyerbuan yang berlangsung selama 17 jam pada 7 Agustus 2009 itu, awalnya di dalam rumah itu diduga terdapat gembong teroris nomor satu Noodin M Top. 


Ternyata, setelah rumah itu hancur lebur, di dalamnya hanya ditemukan sesosok mayat si perangkai bunga yang malam itu. Ibrahim pun dilegitimasi oleh Mabes Polri sebagai anggota jaringan teroris tanpa ada pembuktian secara hukum (Majalah Sabili No. 6 TH XV11 4 November 2010). Begitupun dengan kejadian penembakan orang shalat di rumah Ust. Khairul  Ghazali di Jl Bunga Tanjung, Sumut, Ahad malam (19/92010).

Menurut Adnan Buyung Nasition, tindakan salah tembak Densus ini tidak sesuai dengan falsafah doktrin polisi dan tidak sesuai dengan hukum, sebab tugas polisi adalah menangkap dan menyerahkannya ke pengadilan, dan nanti pengadilan yang memberikan hukum dan vonis. Kalaupun terjadi perlawanan polisi atau densus hanya diperkenankan melumpuhkan dan tidak mematikan. Ujarnya saat ditanya oleh detik.com Jumat(12/3/2010).

Kejanggalan lain, juga diungkapkan Presidium Mer-C Jose Rizal Jurnalis, terkait latihan militer di Aceh. Awalnya, orang dikumpulkan untuk berjihad ke Palestina. Lalu datanglah Sofyan Sauri dari Brimob untuk melatih mereka, meski tidak ada pemberangkatan ke Pelestina. Tak lama kemudian, Sofyan kontak dengan orang-orang yang sudah dilatihnya untuk datang ke Jakarta.

Anehnya, Sofyan Sauri berhasil membawa orang-orang ini untuk berlatih menembak peluru tajam di Mako Brimob Kelapa Dua-Depok. “Coba bayangkan, Sofyan Sauri yang dikatakan disersi Brimob berhasil membawa orang-orang ini berlatih menembak di Mako Brimob. Jadi peristiwa Aceh ini direkayasa, untuk bargaining position dengan Amerika, termasuk mengalihkan perhatian dari kasus Century,” kata Jose Rizal. (Majalah SABILI No 24 TH XVII 24 Juni 2010).

Begitu juga dengan kasus penangkapan Ust. Abu Baasyir, yang penuh dengan rekayasa dan didramatisir.

Kepala Divisi HAM Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Ahmad Irwandi Lubis menegaskan, upaya hukum yang dilakukan Densus tidak boleh dengan cara yang justru  melanggar hukum, apalagi menafikan Hak Asasi Manusia (HAM). 


Hal itu diperlukan karena selain menjunjung asas praduga tidak bersalah (Presumtion Of Innocence), upaya pemberantasan terorisme juga harus bisa dipertanggungjawabkan di hadapan hukum dan masyarakat. Fenomena ini lanjut –menurut Irwandi- menunjukkan bahwa cara kerja Densus 88 sangat membabi buta dan dan unprosedural sehingga berimplikasi pada pelanggaran hukum.

Bahkan dalam pandangan Komisioner Komnas HAM Dr. Saharuddin Daming SH MH, memilih menghabisi tanpa putusan pengadilan yang berketetapan hokum tetap, Densus telah melakukan pelanggaran HAM berat. ”penjelasan pasal 104 UU N 39 Tahun 1999 tentang pelanggaran HAM berat adalah pembunuhan secara sewenang-wenang di luar hukum (Arbitrary/extra judicial killing” tandasnya.  (Majalah SABILI No 24 TH XVII 24 Juni 2010).

Dana Asing Untuk Densus 88

Selain mendapat pelatihan langsung dari AS, Densus juga mendapat kucuran dana langsung dari AS. Dalam situs World Policy Institut dimuat sebuah laporan mengenai bantuan AS ke Negara-Negara Asing paska peristiwa 11 Semptember (U.S. Military Aid and Arms Transfers Since September 11), Indonesia tepat berada di bawa India dan Pakistan sebagai negara penerima suntikan dana dari AS.  


Menurut sumber World Policy Institut, Indonesia tahun 2006 mendapat kenaikan bantuan dari program IMET (International Military and Education Training) sebanyak 800.000 dolar AS yang pada tahun 2004 Indonesia hanya mendapat bantuan sebesar 459.000 dolar AS dan Indonesia menerima bantuan 70 juta dolar AS dari Dana Bantuan Ekonomi, dan 6 juta dolar AS untuk dana anti-terorisme sebagai dana awal dari 12 juta dolar AS.

Hal yang sama juga terjadi pada negara tetangga yang menjadikan negaranya sebagai pangkalan militer AS di Asia Tenggara, Filipina, dengan imbalan bantuan dana yang sangat besar dari AS. Dalam laporan yang sama Filipina menerima antara tahun 2001 sampai 2005 total sebesar 157.300.000 dolar AS, untuk program FMF (Pendanaan Militer Asing/Foreing Militery Financial) sebanyak 145.800.000 dolar AS, dan 11.500.000 juta dolar AS untuk IMET (Bantuan Pelatihan Militer /International Military and Education Training). 


Tahun 2006 Manila menerima bantuan FMF 20 juta dolar AS, dan 2.9 juta dolar AS untuk program IMET. Hal ini dilakukan AS untuk membantu Filipina dalam memberantas Pejuang Muslim Moro MLF (Moro Liberation Front) yang dituduh teroris oleh AS.

Sementara sumber East Timur, menyebut Lembaga-lembaga AS yang memberikan bantuan dana Asing dengan program pemberantasan terorisme, lembaga tersebut antara lain.:

Regional Defence Counterterorrorisme Fellowship Program/Regional Defense Combanting Terrorism Program (CTFP/Program Mememerangi Terorisme dan Pertahanan Regional). Lembaga ini memberikan bantuan  dari tahun 2002 sampai dengan 2004, Indonesia telah menerima dana CTFP dalam jumlah melebihi Negara-negara penerima lainnya dan dua kali lebih besar daripada Filipina sebagai penerima terbesar urutan kedua. 


Di tahun 2005 Indonesia menerima sebesar 878.661 ribu dolar AS dana CTFP, dan tahun 2006 sebesar 715.844 ribu dolar AS, dan untuk tahun 2007 sebesar 525.000 ribu dolar AS.

NADR: Non-proliferation, Anti-terrorism, Demining, and Related Programs (Non-Proliferasi, Anti-Terorisme, Pembersihan Ranjau dan Program Terkait), Lebih dari 30 juta dolar AS telah dialokasikan bagi Indonesia sejak tahun 2002. Unit kepolisian Detasemen 88, unit Kepolisian khusus yang didirikan dengan pengawasan dari pemerintah Amerika Serikat dan dilatih dengan pendanaan dari ATA. 


Di tahun 2005 Indonesia menerima sebesar 275.000 dolar AS melalui dana NADR-EXBS dan pada tahun 2006 Indonesia menerima dari dana program yang sama sebesar 450.000 dolar AS, dan untuk tahun 2007 Indonesia menerima sebesar 1.180.000 dolar AS, dan tahun 2008 sebesar 465.000 dolar AS. (http://www.etan.org/news/2007/)

Harian The Age dan Sydney Morning Herald, juga menyebutkan, pemerintah Australia telah mengucurkan dana sebesar 40 juta dolar AS untuk pemberantasan terorisme, sedangkan 16 juta dolar AS diantaranya, rutin dikucurkan Australia setiap tahunnya kepada Densus 88 untuk agenda yang sama, bahkan untuk tahun 2004 bantuan itu meningkat 20 juta dolar AS per tahun. (Sabili Edisi November 2010).

Direktur Eksekutif Center For Indonesia Reform (CIR), Sapto Waluyo membenarkan fakta adanya bantuan dana asing yang mengalir ke kantong Densus, menurutnya beberapa waktu lalu, Human Rights Watch mendesak Pemerintah Australia menghentikan bantuan kepada Densus, hal ini dilakukan karena Densus dinilai melanggar HAM saat menangkap aktifis politik di Maluku dan Papua.

Dan dengan derasnya bantuan dana asing yang masuk ke kanton densus, ditambah dengan minimnya prestasi dan citra yang kurang baik dimata masyarakat, Densus mengajukan penambahan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebelumnya Asisten Kapolri Bidang Perencanaan Anggaran Irjen Pol Pudjianto mengajukan anggaran operasional sebesar 30 triliun. Alokasi antara lain rp 58,3 miliar untuk dana alut dan alsus menangkal terorisme dan transnasional crime serta mencegah kejahatan terorganisir bersenjata api, dan Rp 30 miliar untuk dukungan operasional Densus. (Sabili edisi November).

Besarnya bantuan dan peran AS dan pihak Asing dalam tubuh Densus, menjadikan Densus terbelenggu oleh pesanan dan keingann pihak Asing. hal itu nampak dari kelakuan "intimidasi" Densus yang tidak berpihak kepada rakyatnya sendiri (umat Islam, dan lebih manut kepada keinginan pihak Asing yang memiliki pandangan stigmatisasi Islam sebagai teroris, radikal, dan fundamentalis, yang kemudian berkembang menjadi "teror negara" terhadap dunia pesantren dan masyarakat Islam.

Issu terorisme bukanlah permasalan pokok yang dihadapi dunia saat ini, issu terorisme yang dikampanyekan AS hanya wajah baru untuk menancapkan hegemoni AS dan melebarkan kekeuasaan dan pengaruhnya melalui penyebaran militernya. Hal pokok yang menjadi ancaman saat ini adalah ancaman kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan yang melanda dunia saat ini. Indonesia sebagai negara yang memiliki kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif  tidak bisa mandiri bertindak sebagaimana di era Bung Sukarno yang berani berteriak kepada Amerika " go to hell with your aids", selama negara ini masih tergantung oleh bantuan Asing.

#Pernah dimuat di buletin Sinai Mesir
http://www.islamicgeo.com/2011/10/membongkar-densus-88-anti-teror.html

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق