.quickedit{ display:none; }

Social Icons

الأربعاء، ٥ محرم ١٤٣٣ هـ

Hadits Lemah dan Palsu Dalam Bab Haji dan Umrah

  1. Sholat Arba'in
  2. Hajar Aswad Tangan Kanan Allah
  3. Haji Namun Tidak Berziaroh ke Kuburan Rosululloh صلى الله عليه وسلم

Hadits Lemah dan Palsu Dalam Bab Makanan dan Minuman

  1. Makan Dua Kali Sehari Termasuk Pemborosan
  2. Do'a Sebelum Makan 
  3. Do'a Setelah Makan
  4. Jika Lupa Do'a Saat Makan
  5. Tidak Makan Kecuali Lapar

Hadits Lemah dan Palsu Dalam Bab Thoharoh

  1. Memanjangkan Kecemerlangan dengan Wudhu
  2. Nabi Tidak Pernah Mimpi Basah
  3. Khitan adalah Sunnah Laki-laki dan Kehormatan Wanita
  4. Tayamum Sua Kali Tepukan Tangan 
  5. Tidak Masuk Surga kecuali Orang yang Bersih
  6. Dilarang Kencing di Lubang
  7. Memanaskan Air dengan Matahari

Antara Pemimpin dan Ulama'

صنفان من أكتي إذا صلحا صلح الناس :الأمراء والعلماء
"Ada dua golongan umatku, apabila keduanya baik maka yang lain  pun baik, yaitu pemimpin dan ulama'"
Derajat: Palsu
Diriwayatkan oleh Tamam dalam Fawa'id:1/238, Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya' :4/96, Ibnu Abdil Bar dalam jami' bayanil ilmi:1/184, dari jalan Muhammad bin Ziyad al-Yasykuri, dari Maimun bin Mahron, dari Ibnu Abbas secara marfu'. Sisi cacatnya adalah pada sanadnya terdapat Muhammad bin Ziyad al-Yasykuri.
Imam Ahmad berkata: Dia seorang pendusta, tukang memasulkan hadits. Dia juga didustakan oleh Ibnu Ma'in, Daruquthni, Abu Zur'ah, dan lainnya.(Lihat adh-Dho'ifah hlm.16)
Abu Yusuf berkata: Adapun tentang urgensi kebaikan keduanya untuk perbaikan umat, maka hal ini disyariatkan oleh beberapa nash, diantaranya firman Allah:
يأيها الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعواالرسول وأولى الأمر منكم...( النساء:59
 )
ًWahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan Taatlah kalian kepada Rosul, serta kepada ulil amri di antara kalian. ( an-Nisa'59)
Ulil Amri adalah ulama dan pemimpin, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab tafsir


Sumber: Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia karya Ahmad Sabiq Abdul Lathif Abu Yusuf

Fatwa Tentang Rukun Iman

Pengertian Iman Menurut Ahlussunnah wal jama'ah
Pertanyaan: Asy-Syaikh yang mulia ditanya, tentang pengertian iman menurut Ahlussunnah wal Jama'ah. Apakah iman itu bisa bertambah dan berkurang?
Jawaban: Iman menurut Ahlussunnah wal Jama'ah yaitu menetapkan dengan hati, melafadzkan dengn lisan, beramal dengan anggota badan. Dan iman tersebut mengandung tiga perkara:
1.       Pengakuan dengan hati
2.       Melafazhkan dengan lisan
3.       Beramal dengan anggota badan
Jika keadaannya demikian maka iman bisa bertambah dan berkurang. Dan hal ini karena pengakuan dalam hati bertingkat-tingkat, sehingga pengakuan dengan melewati berita tidak seperti pengakuan dengan melihat secara langsung.
Dan pengakuan karena berita dari satu orang tidak sama dengan pengakuan terhadap berita yang disampaikan oleh dua orang dan demikian seterusnya. Karena itu Nabi Ibrahim 'alaihis salam berkata: (QS.Al-Baqarah: 260)
Maka iman dapat bertambah dari sisi pengakuan dan ketenangan hati. Manusia akan menjumpai hal itu dalam dirinya ketika menghadiri majelis dzikir yang didalamnya ada nasehat. Juga disebutkan tentang surge dan neraka imannya bertambah seakan-akan menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri, namun ketika dalam keadan lalai dan ketika tidak hadir dalam majelis tersebut, maka keyakinan tersebut semakin menipis dalam hatinya.
Demikian juga iman bisa bertambah dari sisi ucapan, yaitu ketika seseorang berdzikir kepada Allah I sepuluh kali tidak sama dengan orang yang berdzikir kepada Allah I sebanyak seratus kali. Yang kedua jauh lebih banyak.
Demikian pula orang yang melakukan ibadah dengan sempurna, maka imannya lebih kuat daripada orang yang tidak melakukannya dengan sempurna.
Demikian juda dengan amal, jika seseorang melakukan suatu amalan dengan anggota badannya, lebih banyak dari orang lain berarti imannya juga lebih banayk dari yang amalannya sedikit. Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah yakni tentang bertambah dan berkurangnya iman. Allah I berfirman: (QS.Al-Muddatstsir: 31)
Allah I berfirman: (QS.at-Taubah: 124-125)
Dalam haduts shahih dari Nabi r bahwasanya beliau bersabda:
ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب للبّ الرّجل الحاجم من إحداكنّ....(متّفق عليه)
"Tidaklah aku melihat orang yang kurang akal dan agamanya bisa menghilangkan akal seorang laki-laki yang kuat berpegang teguh dengan agamanya melebihi salah seorang diantara kalian (wahai wanita )." (Muttafaq 'alaih)
Tetapi apakah sebab bertambahnya iman itu?
Sebab-sebab bertambahnya iman adalah:
Pertama: Ma'rifatullah terhadap nama-nama dan sifat-Nya. Karena manusia ketika bertambah Ma'rifatullah terhadap nama dan sifat-Nya tidak diragukan lagi akan bertambah imannya. Oleh karena itu engkau jumpai ahli ilmu agama yang mereka mengetahui nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang tidak diketahui oleh selainnya, niscaya engkau akan mendapati mereka lebih kuat imannya dari selainnya dari sisi ini.
Kedua: Melihat ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah  yaitu alam semesta beserta isinya dan ayat syar'iyah. Karena ketika manusia mem-perhatikan tentang ayat-ayat kauniyah yang berupa makhluk-makhluk Allah maka akan bertambah imannya, Allah I berfirman: (QS.adz-Dzaariyaat: 20-21)
Ayat yang menunjukan atas hal ini sangat banyak sekali. Yang aku maksud ayat-ayat yang menunjukan kepada manusia agar supaya bertadabbur, dan memperhatikan keadaan alam semesta.
Ketiga: Banyak berbuat keta'atan. Seseorang jika semakin banyak melakukan amal keta'atan maka akan semakin bertambah imannya, baik keta'atan itu berupa perkataan, atau perbuatan, seperti dzikir baik secara kwalitas ataupun kwantitas akan menambah keimanan, shalat, puasa, dan haji, semua itu juga dapat menambah keimanan baik dari segi kwalitas ataupun kwantitas.
Adapun sebab-sebab yang dapat mengurangi keimanan adalah kebalikan dari yang diatas:
Pertama: Jahil terhadap nama-nama dan sifat Allah.
Hal itu dapat mengurangi keimanan, sebab seseorang jika kurang pengetahuannya terhadap nama-nama dan sifat Allah, maka akan berkurang imannya.
Kedua: Berpaling dari berfikir tentang ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat kauniyah atau syar'iyah. Hal ini termasuk sebab yang dapat mengurangi iman atau minimal tetap tidak tumbuh dan semakin kuat.
Ketiga: Berbuat maksiat. Perbuatan maksiat itu mempunyai pengaruh yang besar atas hati dan iman. Karena itu Nabi r bersabda:
لا يزني الزّاني حين يزني وهو مؤمن
"Tidaklah berzina seorang pezina ketika berzina dalam keadaan beriman."  (Muttafaq 'alaih)
Keempat: Meninggalkan keta'atan. Sesungguhnya meninggalkan keta'atan adalah sebab berkurangnya iman. Namun jika yang ditinggalkan adalah keta'atan yang merupakan suatu kewajiban sedangkan ia meninggalkannya dengan tanpa udzur maka hal ini termasuk kekurangan yang dicela dan akan disiksa pelakunya.
Adapun jika yang ditinggalkannya adalah keta'atan yang tidak wajib atau wajib namun didalam meninggalkannya ada udzur maka termasuk kekurangan yang tidak dicela pelakunya. Karena itu Nabi r mengkategorikan wanita termasuk yang kurang akal dan agamanya. Alasan kurang agamanya karena wanita jika haidh tidak shalat dan tidak berpuasa meskipun tidak dicela meninggalkannya bahkan diperintahkan untuk itu akan tetapi ketika hal itu tidak dikerjakan oleh wanita sementara hal itu dikerjakan oleh laki-laki maka menjadilah dia orang yang kurang imannya dari sisi ini menurut aku.

FATWA-FATWA TENTANG ISLAM

1.      Dua Kalimat Syahadat dan maknanya
Pertanyaan: Assyaikh ditanya, tentang dua syahadat.
Jawaban: Dua kalimat Syahadat : (Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah).
Keduanya adalah kunci islam, tidak mungkin seseorang  masuk islam kecuali dengan dua syahadat tersebut, karena itu Rasulullah memerintahkan kepada Muadz bin Jabal ketika beliau mengutusnya kenegeri Yaman, bahwa yang pertama kali dia serukan harus dia serukan kepada mereka adalah syahadat laa ilaaha illallah waanna muhammadan rosulullah. (HR. Bukhori).
            Adapun kalimat yang pertama (Syahadat laa ilaaha illallah) maka hendaklah seseorang mengakui dengan lisan dan hatinya bahwasanya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah, karena illah bermakna Ma'luh (yang disembah/diibadahi) dan At-ta'aluhu bermakna ta'abbud (beribadah/menyembah) maknanya: bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja. Kalimat ini mengandung nafyi (penafiyan) dan itsbat (penetapan). Adapun penapian yaitu kalimat  laa ilaaha dan itsbat yaitu kalimat illallah sedangkan Allah adalah lafdzul jalalah sebagi ganti dari kabar (laa) yang dihapus. Takdirnya adalah laa ilaaha bihaqqin illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan hanya Allah) yakni pengikraran dengan lisan setelah mengimani dengan hati bahwa sanya tidak ada yang disembah dengan benar kecuali Allah dan ini mencakup ikhlas dalam beribadah kepada Allah saja dan meniadakan yang lainnya.
            Kita mentakdirkan khabar dalam kalimat ini (Hak) sebagai penjelasan masalah yang dihadapi kebanyakan manusia. Yaitu, bagaimana engkau mengatakan laa ilaaha illaallah, padahal ada sesembahan yang disembah selain Allah. Allah Subhanahu wa Ta'la telah menamakan sesembahan sedangkan penyembah berhala juga menamakannya sesembahan dalam firman Allah:
"…Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka serukan selain Allah, diwaktu adzab Rabbmu dating." (QS. Huud: 101).
Allah Subhanahu wa Ta'la juga berfirman:
"…Dan janganlah kamu mengadakan Rabb yang lain disamping Allah," (QS. Al-Isro': 39).
Allah Subhanahu wa Ta'la juga berfirman:
"Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Rabb apapun yang lain. Tidak ada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia." (QS. Al-Qoshash: 88).
 Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
"…Kami sekali-kali tidak menyeru Rabb selain Dia…" (QS. Al-Kahfi: 14).
Maka bagaimana mungkin kita mengatakan laa ilaaha illaallah disamping itu juga menetapkan kailahiyahan untuk selain Allah? Dan bagaimana mungkin kita menetapkan keuluhiyahan untuk selain Allah sedangkan para rasul bersabda kepada kaumnya:
"…Sembahlah Allah, sekali-kali tak ada sesembahan bagi kalian selain-Nya…" (QS. Al-A'raaf: 59).
Jawaban atas masalah ini akan jelas dengan mentakdirkan khabar dalam laa ilaaha illaallah. Maka kami katakana sesembahan yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah suatu sesembahan juga. Namun dia adalah sesembahan yang batil, bukan sesembahan yang haq, dan tidak mempunyai hak peribadatan dan penyembahan sedikit pun. Hal into ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang btil; dan sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." (QS. Luqmaan: 30)
Dan berfirman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah) Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yng demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaa, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah dating petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka." (QS. An-Najm: 19-23).
            Jika demikian makna لاَإِلَهَ إِلا َّالله adalah tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun yang disembah selain Allah, maka statusnya sebagai sesembahan sebagimana yang diakui penyembahannya bukanlah sesembahan yang sebenarnya. Yaitu sesembahan yang batil, status sebagai sesembahan yang benar hanyalah untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala saja.
            Adapun makna syahadat (muhammadur rasulullah) yaitu berikrar dengan lisan  dan diimani dalam hati, bahwasanya Muhammad bin 'Abdillah al-Quraisy al-Hasyimi adalah utusan Allah kepada seluruh makhluk dari golongan jin dan manusia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi  yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk." (QS. Al-A'raaf: 158).
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Maha suci Allah yang telah menurunkan al-furqan (al-Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam." (QS. Al-Furqaan: 1).
Konsekuensi dari syahadat ini yaitu engkau membenarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apa yang beliau kabarkan, melaksanakan apa yang beliau perintahkan, dan menjauhi apa yang beliau larang dan beliau peringatkan. Dan engkau tidak menyembah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syari'atkan, konsekuensi syahadat ini juga adalah tidak meyakini bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mempunyai hak dalam kerububiyahan dan mengatur alam. Atau hak untuk diibadahi, bahkan beliau adalah seorang hamba yang tidak boleh disembah dan seorang rasul yang tidak didustakan, beliau tidak dapat member manfaat dan madharat bagi dirinya sendiri dan juga orang lain kecuali apa yang dikehendaki Allah.
 Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gha'ib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang Malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku." (QS. Al-An'aam: 50).
            Beliau adalah hamba yang diperintah dan mengikuti apa yang diperintahkan kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala firman:
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan sedikitpun kepada kalian dan tidak (pula) suatu kemanfaatan. "Sesungguhnya sekali-kali tiada seorangpun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan sekali-kali aku tiada akan memperoleh berlindung selain daripada-Nya. " (QS. Jin: 21-22).
Allah berfirman:
"Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gha'ib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (QS. Al-A'raaf: 188).
                                                                        (Majmuu' Fataawaa asy-Syaikh 1/79-82)
Sebagian ikhwan ada yang berkata: "barangsiapa melaksanakan rukun islam yang lima, maka dia akan menjadi seoang muslim."
Pertanyaan:  asy-Syaikh yang mulia Sebagian ikhwan ada yang berkata bahwa barangsiapa yang melaksanakan rukun islam yang lima, maka dia akan menjadi seoang muslim walaupun tidak menerapkan sunnah nabawiyah, seperti memanjangkan jenggot, dan memotong kumis, memendekan pakaian namun tidak istiqomah. Berilah penjelasan kepada kami, jazakumullah khoiron?
Jawaban: ini benar, bahwasanya seseorang yang melakukan rukun islam yang lima maka dia adalah seorang muslim, walaupun mencukur jenggot, menurunkan kainnya sampai dibawah mata kaki.Dia adalah muslim bahkan dia mukmin namun imannya berkurang karena melaksanakan dan terus menerus berbuat maksiat.
Karena jika engkau katakana bahwa dia bukan seorang muslim maka engkau telah mengeluarkannya dari Islam. Dan mengeluarkan seseorang dari Islam bukanlah masalah yang sepele. Kita tidak boleh mengeluarkan seseorang dari Islam kecuali dengan dalil dari Al-Qur'an dan as-Sunnah, atau ijma' ummah. Karna mengeluarkan dari Islam adalah salah satu diantara hukum Allah subhanahu wa Ta'ala yang berakibat  dan memberikan keleziman dan konsekuensi terhadap berbagai masalah yang besar.
Kita tidak boleh mengatakan , 'Ini adalah haram,' kecuali harus berdasarkan dalil. Atau , 'Hal ini adalah sesuatu yang  wajib,' kecuali dengan dalil. Kita  jugs tidak boleh mengatakan , 'Orang ini kafir,' kecuali dengan dalil. Sedangkan kaum muslimin tidak memecah belah mereka melainkan karena ucapan yang didasarkan persangkaan seperti ini. Kaum khwarij tidak keluar dari para imam dan membuat banyak kerusakan pada umat melainkan karena mereka mengkafirkan pelaku dosa besar. Dan mereka mengatakan bahwa barangsiapa melakukan dosa besar maka kafir dan kekal dineraka dan wajib dibunuh. Siapa yang membaca sejarah akan mengetauhui kerusakan yang besar akibat ulah mereka.
Kesimpulannya bahwa kekafiran itu bukanlah sesuatu yang remeh. Kadangkala seorang melakukan suatu kemaksiatan yang besar namun dia masih sebagai seorang yang beriman. Akan tetapi mdia seorang mukmin yang imannya berkurang|lemah. Jika aku betanya kepada kalian ,apa kejahatan terbesar atas bani adam? Maka jawabannya adalah pembunuhan. Pembunuhan lebih besar dari sekedar mengambil harta, walaupun demikian  Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
ياأيها الذين أمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحر باالحر والعبد باالعبدوالاْنثى باالاْنثى فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع باالمعروف..... (االبقرة :178 )
"hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik…." (QS.Al-Baqoroh:178) - yakni saudara bagi yang terbunuh.   
فمن عفي له من أخيه "maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, "yakni dari darah saudaranya,فاتباع باالمعروف " hendaklah(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,"
                Allah juga berfirman tentang dua kelompok dari kaum mukminin yang saling berperang: (QS. Al-hujuraat: 9-10)
                Engkau bisa melihat sekarang bahwa orang yang membunuh tidak keluar dari iman, dan yang membunuh seorang mukmin tidak keluar dari iman, maka bagaimana halnya jika dia mencukur jenggot, atau memanjangkan kainnya? Kita katakana: dia seorang muslim dan mukmin tapi imannya lemah sebab maksiat yang dikerjakannya.
(Liqaa'aat al-Baabil Maftuuh no. 487)
Berkaitan dengan Orang Kafir yang Ingin Masuk Islam
Pertanyaan: Asy-syaik yang mulia, berkaitan dengan orang kafir yang ingin masuk islam, sedangkan sebagian ikhwan berpendapat untuk tidak tergesa-gesa masuk Islam dahulu, bahkan dia berpendapat untuk memberikan kaset-kaset supaya dia pelajari selama sebulan atau dua bulan sampai mengerti dan memahami aqidah Islamiyah. Mereka ingin agar Islam masuk terlebih dulu kepada orang tersebut, hingga orang tersebut mengatakan: "Aku ingin masuk Islam, setelah itu katakana kepadaku tentang apa yang wajib dari masalah ibadah." Mana yang lebih utama kita segerakan, dia masuk Islam atau kita tunda dulu keislamannya sampai dia mengetahui?
Jawaban: Suatu kenyataan bahwa sebagian orang berkata sebagimana diceritakan bahwa mereka datang kepada kami sebagai tamu, lalu salah seorang dari mereka berkata: "Aku ingin masuk Islam." Sedangkan dia belum mengetahui tentang Islam. Jika dia masuk Islam dalam keadaan tidak mempunyai rasa simpati dan berprasangka baik kepada syiar-syiar Islam maka akibatnya dia akan menarik diri untuk masuk Islam. Maka pada waktu itu akan terjadi bencana yang lebih besar. Sebab ketika dia sudah masuk Islam kemudian keluar dari Islam, dia menjadi seorang yang murtad. Tetapi jika dia tetap berada diatas agamanya, maka dia termasuk orang kafir yang murni. Sementara orang yang murtad lebih berat daripada orang kafir yang asli sejak awal. Orang kafir yang murni diakui keberadaannya diatas agamanya. Sedang orang yang murtad tidak diakui atas kemurtadannya, namun ia harus diajak kembali kepada Islam, agar dia bertaubat, jika tidak bertaubat maka dibunuh. Sehingga sebagian ikhwah berpendapat supaya tidak tergesa-gesa. Sebagian mereka ada yang mengaku muslim dengan tujuan mencari dunia bukan karena cinta kepada Islam. Maka sikap kita dengan menegakkan hujjah dahulu kepada mereka dengan menjelaskan Islam kemudian dia masuk dalam Islam dengan bashirah lebih baik daripada kita tergesa-gesa untuk memasukan mereka kedalam Islam.
                Berdasarkan hal ini sebaiknya kita melihat kepada beberapa faktor lebih dulu: jika kita melihat bahwa orang itu bergaul ditengah-tengah kaum muslimin. Dia menyaksikan kaum muslimin, tharah mereka, shalat, dzikir dan kehidupan mereka, maka ketika dia mengatakan senang kepada Islam maka kita terima dia. Adapun jika dia jahil dan baru saja datang sehingga dia tidak mengetahui tentang Islam sama sekali, maka yang paling baik disini adalah menjelaskan kepadanya tentang Islam dahulu, kemudian kita terima pengakuan Islamnya.
(Liqaa'aat al-Baabil Maftuuh no. 483)
Islam, Iman dan Perbedaan Keduanya
Pertanyaan: Asy-Syaikh yang mulia ditanya, tentang Islam dan perbedaannya dengan Iman?
Jawaban: Islam dengan makna umum, yaitu: beribadah kepada Allah I dengan apa yang telah Allah I syari'atkan berupa ibadah-ibadah yang telah dibawa oleh para utusan-Nya. Sejak Allah I mengutus para Rasul-Nya sampai datangnya Hari Kiamat.
                Sehingga Islam dengan makna umum ini mencakup petunjuk dan kebenaran yang dibawa oleh Nabi Nuh, Musa, 'Isa, dan mencakup apa yang dibawa oleh pemimpin orang-orang yang lurus yaitu Ibrahim u. Sebagaimana hal itu telah Allah sebutkan dalam banyak ayat, menunjukan bahwa syari'at sebelum Nabi Muhammad r semuanya adalah Islam (berserah diri) kepada Allah.
                Adapun Islam dengan makna khusus adalah Islam yang dikhususkan setelah diutusnya Nabi Muhammad  r. Karena Rasulullah r diutus dengan membawa syari'at yang menghapus syari'at agama-agama sebelumnya, sehingga orang yang mengikutinya menjadi seorang muslim. Orang yang menyelisihinya bukanlah seorang muslim karena tidak menyerahkan dirinya kepada Allah bahkan menyerahkan dirinya kepada hawa nafsunya. Sehingga orang Yahudi disebut muslim pada zaman Musa dan orang Nasrani disebut muslim pada zaman Nabi 'Isa u, adapun setelah diutusnya Rasulullah r maka bukanlah mereka termasuk muslim. Karena itu tidak boleh bagi seseorang berkeyakinan bahwa agama Yahudi dan Nashrani yang mereka pegangi hari ini merupakan agama yang benar, diterima disisi Allah sama seperti agama Islam. Bahkan orang yang berkeyakinan demikian maka ia adalah orang kafir keluar dari agama Islam. Karena Allah I berfirman: (QS. Ali-'Imran:19)
Dan berfirman: (QS. Ali-'Imran:85)
                Islam yang Allah isyaratkan adalah Islam yang telah Dia karuniakan kepada Rasulullah r dan umatnya, Allah I berfirman: (QS. Al-maa'idah: 3)
                Ini adalah nash yang jelas tentang kedudukan orang yang bukan termasuk umat Islam setelah diutusnya Rasulullah r tidak disebut sebagai muslim. Berdasarkan hal ini, semua apa yang mereka lakukan dalam beragama tidaklah diterima dan tidak bermanfaat pada hari Kiamat. Dan kita tidak boleh menganggap sebagai agama yang lurus. Oleh karena itu, merupakan kesalahan yang besar bagi orang yang menyebut Yahudi dan Nashrani sebagai saudara kita. Atau agama mereka pada hari ini adalah lurus karena apa yang telah kita kemukakan sebelumnya.
                Jika kita katakana sesungguhnya islam adalah peribadatan kepada Allah I berdasarkan syari'at-Nya, maka mencakup didalamnya penyerahan kepada Allah, baik secara zhahir ataupun batin, dan mencakup didalamnya agama ini secara keseluruhan bak aqidah, amal perbuatan, ataupun ucapan.
                Adapun jika kita menggabungkan Islam dan Iman, maka yang dimaksud Islam adalah amalan zhahir, seperti melafalkan dengan lisan dan berbuat dengan anggota badan. Sedangkan iman adalah amalan batin seperti aqidah dan amalan-amalan hati. Dasar pembedaan ini adalah firman Allah: (QS. Al-Hujuraat: 14)
                Juga firman Allah  I dalam kisah Nabi Luth u: (QS. Adz-Dzariyaat: 35-36)
                Dalam ayat itu sesungguhnya Allah I membedakan antara mukmin dan muslim. Karena rumah yang ada didalam desa itu adalah rumah orang Islam dari sisi zhahirnya karena didalam rumah itu ada isteri Nabi Luth u yang telah mengkhianatinya dengan berbuat kekafiran. Adapun orang yang keluar dari desa itu dan selamat maka mereka adalah orang yang benar-benar mukmin, dimana iman telah masuk kedalam hati mereka, dan perbedaan antara iman dan Islam ketika berkumpul ditunjukan oleh hadits 'Umar bin Al-Khattab t yang disebutkan didalamnya bahwa Jibril u pernah bertanya kepada Rasulullah r tentang Iman dan Islam. Maka Nabi r berkata kepadanya:
الإسلام أن تشهد أن لا إله إلاّ الله وأنّ محمّدا رسول الله وتقيم الصّلاة وتؤتي الزّكاة وتصوم رمضان وتحج البيت
"Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah."
Dan beliau berkata tentang iman:
أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقدر خيره وشره (متفق عليه)
"Bahwasanya engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul, hari Akhir dan engkau beriman dengan qadha qadar yang baik maupun yang buruk." (Muttafaq 'alaihi).
                Kesimpulannya, bahwa ketika disebut Islam maka mencakup agama seluruhnya dan masuk juga didalamnya iman. Dan jika disebut bersama iman maka ditafsirkan bahwa Islam adalah amalan lahir yang meliputi ucapan lisan dan amal anggota badan.
                Dan ditafsirkan iman dengan amalan batin yang meliputi keyakinan hati dan amalan-amalannya.
(Majmuu' Fataawaa asy-Syaikh 1/47-49)

FATWA-FATWA TENTANG AQIDAH

Ringkasan Kitab Aqidah yang Paling Bagus
Pertanyaan: As-Syaikh yang mulia, apa kitab paling ringkas dan bagus dalam masalah aqidah?
Jawaban: Menurutku kitab ringkasan paling bagus adalah kitab al-A'qidah al-Waasithiyah. Karena semua pembahasannya dibangun berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah. Semuanya berupa ayat dan hadits-hadits.
Adapun kitab al-'Aqidah ath-Thahawiyyah, juga bagus namun masih banyak pengulangan, dan disamping itu ada pemisahan dalam satu tema. Seperti misalkan engkau mendapatkan pembahsan tentang irodah terletak diawal dan diakhir kitab. Maka aku sarankan, untuk belajar kitab al'Aqidah al-Wasithiyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, sebelum belajar kitab apa saja dalam bab aqidah ini.
                                                            (Liqaa'aat al-Baabil Maftuuh no. 309)
Apakah Boleh Memberikan Udzur dengan Ketidak tahuan?
Pertanyaan: As-Syaikh yang mulia kami melihat kebanyakan kaum muslimin, baik didalam atau diluar negeri sepertinya mereka itu berpaling dari Agama Allah. Mereka tidak mau tahu dan belajar tentang agama ini, sampai masalah sederhanapun dimana seorang muslim tidak boleh untuk tidak mengetahuinya, tetapi mereka tidak mengetahui. Bagaimana bergaul dengan mereka dan apakah mereka mendapat udzur secara syar'i? Siapakah yang bertanggungjawab berkaitan dengan mereka?
Jawaban:  Wajib atas mereka untuk belajar apa yang mereka butuhkan dari agama Allah, seperti hukum-hukum thaharah, shalat, zakat, puasa dan haji yang memang mereka butuhkan.
Demikian, mengetahui ilmu ini termasuk fardhu 'ain sebagimana yang dikatakan oleh para ulama.
Sehingga yang wajib bagi mereka untuk bertanya, pada saat ini sarana-sarana untuk memperoleh ilmu sangat mudah, alhamdulillah, sarana dan prasrana dimudahkan, jarakl yang dahulu mereka tempuh selama dua hari, maka sekarang dapat ditempuh selama dua jam. Dimudahkan juga dalam maslah hubungan, mereka bisa mghubungi para'ulama' lewat telepon dan bertanya. Maka pada hakekatnya mereka tidak punya udzur dalam masalah din ini.
Walaupun demikian kami katakana, wajib bagi para 'ulama' untuk berkeliling ke Negara-negara dimana masih banyak penduduknya yang jahil terhadap agama ini, sehingga mereka dapat mengajarinya perkara-perkara agama. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus para da'I untuk berdakwah ke Negara-negara lain dalam rangka mengajari dan menjelaskan tentang permasalahan agama, beliau juga memerintahkan , Malik bin al-Huwairits dan para sahabatnya untuk kembali kepada keluarga mereka dalam rangka mengajari mereka.
(Liqaa'aat al-Baabil Maftuuh no. 830)
Usulan Sebagian Da'I ketika Memulai Dakwah
Pertanyaan: As-Syaikh yang mulia, semoga Allah Subhanahu wa Ta'la senantiasa menjagamu, sebagian da'I berpendapat bahwa hendaklah kita dalam berdakwah memulai dengan perkara selain aqidah, karena tersebarnya fitnah dan hasutan, bagimana pendaptmu dalam masalah itu, jazakumullah khairan?
Jawaban:  Jika engkau mendakwahi orang kafir maka wajib memulai dengan tauhid karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus Mu'adz ke Yaman dan berkata:
لِيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
"Hendaklah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah syahadat Laa ilaaha illallah (HR. Muttafaqun 'alaih).
Adapun jika engkau berdakwah kepada kaum muslimin tetapi sebagian aqidah mereka rusak, maka jangan engkau bantah dengan mengingkari aqidah mereka sebab mereka berkeyakinan bahwasanya aqidah mereka termasuk dari agama, akan tetapi anjuran mereka untuk shalat, puasa, haji sampai mereka segan kepadamu, dan merasa senang denganmu, kemudian setelah itu jelaskan tentang keyakinan mereka yang salah.
Sehingga hendaknya jika engakau dibedakan antara keadaan orang yang didakwahi, karena sesungguhnya jika engkau memulai dakwah kepada orang kafir dengan tauhid sedangkan mereka mengingkari dan menolak maka memang dia termasuk orang yang kafir sejak awal. Namun ini adlah seorang muslim dan salah dalam perbuatan bid'ah yang dilakukan dan dia sangka bahwa hal itu benar. Jika demikian janganlah tergesa-gesa, karena boleh jadi dia akan lari dari dan tidak menerima dakwahmu sedikitpun. Tetapi serulah dulu kepada masalah-masalah yang tidak mengandung ikhtilaf, seperti masalah shalat, shadaqah, puasa dan haji. Kemudian setelah itu jika mereka merasa tenang dan senang kepadamu maka akan mudah bagimu untuk menyampaikan penjelasan kepada mereka tentang apa yang mereka pahami dari bid'ah bahwa hal itu adalah haram dan menganjurkan mereka untuk kembali kepada as-Sunnah.
(Liqaa'aat al-Baabil Maftuuh no. 131)

Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ
Cinta tanah air termasuk iman.


Derajat Hadits dan Komentar Ulama:
TIDAK ADA ASALNYA. Berikut ucapan para ulama pakar ahli hadits:
  1. As-Shoghoni berkata: “Termasuk hadits-hadits yang palsu”.
  2. As-Suyuthi berkata: “Saya tidak mendapatinya”.
  3. As-Sakhowi berkata: “Saya tidak mendapatinya”.
  4. Al-Ghozzi berkata: “Ini bukan hadits”.
  5. Az-Zarkasyi: “Saya belum mendapatinya”.
  6. Sayyid Mu’inuddin ash-Shofwi berkata: “Ini bukan hadits”.
  7. Mula al-Qori berkata: “Tidak ada asalnya menurut para pakar ahli hadits”.
  8. Al-Albani berkata: “Maudhu’ (palsu)”.
  9. Lajnah Daimah yang diketahui oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Ucapan ini bukan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia hanyalah ucapan yang beredar di lisan manusia lalu dianggap sebagai hadits.
.
C. MATAN HADITS
Syaikh al-Albani berkata:
“Dan maknanya tidak benar. Sebab cinta negeri sama halnya cinta jiwa dan harta; seseorang tidak terpuji dengan sebab mencintainya lantaran itu sudah tabiat manusia. Bukankah anda melihat bahwa seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik dia kafir maupun mukmin?!
Allah berfirman:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِاخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّافَعَلُوهُ إِلاَّ قَلِيلُُ مِّنْهُمْ
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:”Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka.
(QS. An-Nisa’: 66)
  • Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka. Musuh-musuh Islam telah menjadikan hadits palsu ini untuk menghilangkan syi’ar agama dalam masyarakat dan menggantinya dengan syi’ar kebangsaan, padahal aqidah seorang mukmin lebih berharga baginya dari segala apapun”.
  • Berlebih-lebihan terhadap tanah air bisa sampai kepada derajat memberhalakannya.
  • Dan terkadang Syetan menggambarkan kepada sebagian mereka bahwa tanah air lebih baik daripada surga ‘Adn, sebagaimana seorang di antara mereka mengatakan:
هَبْ جَنَّةُ الْخُلْدِ الْيَمَنْ
لاَ شَيْئَ يَعْدِلُ الْوَطَنْ
Anggaplah bahwa surga yang kekal adalah Yaman
Tidak ada sesuatupun yang melebihi tanah air.
Seorang lainnya mengatakan:
وَطَنِيْ لَوْ شُغِلْتُ بِالْخُلْدِ عَنْهُ
نَازَعَتْنِيْ إِلَيْهِ فِي الْخُلْدِ نَفْسِيْ
Tanah airku, seandainya aku disibukkan oleh surga darinya
Niscaya jiwaku akan menggugatku di surga menuju tanah airku.
http://ibnuramadan.wordpress.com

Hadits Lemah dan Palsu Dalam Bab Aqidah

  1. Cinta Tanah Air Sebagian dari  Iman
  2. Agama adalah Akal
  3. Bersumpah Dusta Atas Nma Allah
  4. Ikhlas Karena Allah Selama 40 Hari
  5. Karena Takut Kepada Allah 
  6. Mengenal Dirinya Berarti Mengenal Allah
  7. Tidak Memperhatikan Urusan Muslimin
  8. Tidak Ridho dan Sabar Atas Takdir Alloh
  9. Iman Bukan Sekadar Angan-angan
  10. Syair Umayyah
  11. Beriman Tapi Hatinya Kufur
  12. Masuk Surga dan Neraka Karena Lalat
  13. Sembilan Puluh Sembilan Karena Allah
  14. Keluarga Muhammad Setiap Orang Bertakwa
  15. Rosululloh صلى الله عليه وسلم Kakek Semua Orang Bertakwa
  16. Kebaikan Umat Rosululloh صلى الله عليه وسلم Sampai Kiamat
  17. Terbunuhnya Seorang Muslim Melebihi Runtuhnya Ka'bah
  18. Yang Pertama Diciptakan Allah adalah Nur Muhammad صلى الله عليه وسلم

Hadits Lemah dan Palsu Dalam Bab Puasa

  1. Berpuasalah Niscaya Engkau Akan Sehat
  2. Puasa Bulan Rojab
  3. Puasa Arofah di Padang Pasir
  4. Puasa Tetapi Ghibah
  5. Orang yang Puasa Dalam Ibadah Meskipun Tidur
  6. Keutamaan Romadhon
  7. Puasa Saat Safar
  8. Puasa Nisfu Sya'ban
  9. Do'a Saat Hari Raya
  10. Dua Bulan Tidak Genap 60 Hari
  11. Do'a Berbuka Puasa
  12. Bedo'a Saat Berbuka
  13. Puasa Romadhon Tergantung Zakat Fitri
  14. Puasa Hari Tarwiyah
  15. Orang yang Berbuka Siang Romadhon Tanpa Udzur
  16. Berharap Romadhon Setahun Penuh

Hadits Lemah dan Palsu Dalam Bab Zakat dan Shodaqoh

  1. Kisah Tsa'labah رضي الله عنه 
  2. Antara Orang Dermawan dan Bakhil
  3. Manusia Suka Orang yang Berbuat Baik
  4. Pembagian Harta Zakat
  5. Berilah Meskipun Kaya
  6. Bila Harta Bercampur Zakat
  7. Dagangkanlah Harta Anak Yatim
  8. Tangan Paling Panjang
  9. Fungsi Shodaqoh
  10. Binatang Kurban Menjadi Tunggangan Akhirat

Hadits Lemah dan Palsu Dalam Bab Jenazah

  1. Terlaknat Bagi Wanita yang Berziaroh Kubur
  2. Berziaroh ke Kuburan Orang Tua Setiap Juma't
  3. Orang yana Meninggal Telah Tiba Kiamatnya
  4. Berziaroh Kepada Rosululloh صلى الله عليه وسلم Setelah Beliau Wafat
  5. Bacaan Surat Yasin Bagi Orang yang Akan Wafat
  6. Menangis Untuk Orang Seperti Ja'far 
  7. Warisan Wanita
  8. Mengubur di Tengah Orang Sholih
  9. Mentalqin Mayit Setelah Dikuburkan 
  10. Kubur, Taman Surga atau Jurang Neraka

الاثنين، ٣ محرم ١٤٣٣ هـ

Menuntut Ilmu Bagi Muslimah

Adapun tambahan dalam hadits ini dengan lafadz:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.


  • Syaikh Al-Albani berkata: “Lafadz ini diriwayatkan dari banyak jalur sekali dari Anas sehingga bisa terangkat ke derajat hasan sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh al-Mizzi. Saya telah mengumpulkan hingga sekarang sampai delapan jalur. Selain dari Anas, hadits juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat lainnya seperti Ibnu Umar, Abu Sa’id, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ali. Saya sekarang sedang mengumpulkan jalur-jalur lainnya dan menelitinya sehingga bisa menghukumi statusnya secara benar baik shohih, hasan, atau lemah. Setelah itu, saya mempelajarinya dan mampu mencapai kurang lebih dua puluh jalur dalam kitab Takhrij Musykilah Al-Faqr (48-62) dan saya menyimpulkan bahwa hadits ini derajatnya hasan”.(1)
  • Al-Hafizh As-Suyuthi juga telah mengumpulkan jalur-jalur hadits ini dalam sebuah risalah khusus “Juz Thuruqi Hadits Tholabil Ilmi Faridhotun Ala Kulli Muslimin”, telah dicetak dengan editor Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, cet Dar “Ammar, Yordania.
Namun perlu kami ingatkan di sini bahwa hadits ini memiliki tambahan yang yang populer padahal tidak ada asalnya yaitu lafadz “dan muslimah“.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah.
  • Tambahan lafadz وَمُسْلِمَةٍ tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits. Syaikh al-Albani mengatakan, “Hadits ini masyhur pada zaman sekarang dengan tambahan وَمُسْلِمَةٍ padahal tidak ada asalnya sedikitpun. Hal ini ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhawi. Beliau berkata dalam al-Maqashid al-Hasanah (hal. 277): “Sebagian penulis telah memasukkan hadits ini dengan tambahan وَمُسْلِمَةٍ, padahal tidak disebutkan dalam berbagai jalan hadits sedikitpun”.(2)
Sekalipun demikian, makna tambahan ini benar, karena perintah menuntut ilmu mencakup kaum pria dan wanita juga. Syaikh Muhammad Rasyid Ridho berkata: “Hadits “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim” mencakup wanita juga dengan kesepakatan ulama Islam, sekalipun tidak ada tambahan lafadz “dan muslimah”. Akan tetapi,  matan-nya adalah shohih dengan kesepakatan ulama“.(3)
Semoga Allah merahmati Al-Hafizh Ibnul Jauzi tatkala berkata:
“Saya selalu menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu agama, karena ilmu adalah cahaya yang menyinari, hanya saja saya memandang bahwa para wanita lebih utama dengan anjuran ini, dikarenakan jauhnya mereka dari ilmu dan menguatnya hawa nafsu pada diri mereka”. Lanjutnya: “Wanita adalah manusia yang dibebani seperti kaum pria, maka wajib olehnya untuk menuntut ilmu agar dia dapat menjalankan kewajiban dengan penuh keyakinan”(4)
Sejarah telah mencatat nama-nama harum para wanita yang menjadi para ulama dalam bidang agama, Al-Qur’an, hadits, syair, kedokteran dan lain sebagainya.(5)

CATATAN KAKI

1.Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah 1/604.
2. Takhrij Musykilatul Faqr hal. 48-62.
3. Huquq Nisa’ fil Islam hlm. 18.
4. Ahkam Nisa’ hal. 8-11
5. Lihat kisah-kisah mereka dalam kitab Huquq Mar’ah Dr. Nawwal binti Abdullah hal. 285-293, ‘Inayah Nisa’ bil Hadits Nabawi oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman.

Mencari Ilmu Sampai ke Cina

اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَلَوْ في الصِّينِ
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”
Inilah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun perlu diingat bahwa setiap buah yang akan dipanen tidak semua bisa dimakan, ada yang sudah matang dan keadaannya baik, namun ada pula buah yang dalam keadaan busuk.

Begitu pula halnya dengan hadits. Tidak semua perkataan yang disebut hadits bisa kita katakan bahwa itu adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi yang meriwayatkan hadits tersebut ada yang lemah hafalannya, sering keliru, bahkan mungkin sering berdusta sehingga membuat hadits tersebut tertolak atau tidak bisa digunakan. Itulah yang akan kita kaji pada kesempatan kali ini yaitu meneliti keabsahan hadits di atas sebagaimana penjelasan para ulama pakar hadits. Penjelasan yang akan kami nukil pada posting kali ini adalah penjelasan dari ulama besar Saudi Arabia dan termasuk pakar hadits, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah. Beliau rahimahullah pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Semoga Allah memberi kemudahan dalam hal ini.
Penjelasan Derajat Hadits
Mayoritas ulama pakar hadits menilai bahwa hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) dilihat dari banyak jalan.
Syaikh Isma’il bin Muhammad Al ‘Ajlawaniy rahimahullah telah membahas panjang lebar mengenai derajat hadits ini dalam kitabnya ‘Mengungkap kesamaran dan menghilangkan kerancuan terhadap hadits-hadits yang sudah terkenal dan dikatakan sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam‘ pada index huruf hamzah dan tho’. Dalam kitab beliau tersebut, beliau mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Al Khotib Al Baghdadi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ad Dailamiy dan selainnya, dari Anas radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau menegaskan lemahnya (dho’ifnya) riwayat ini. Dinukil pula dari Ibnu Hibban –pemilik kitab Shohih-, beliau menyebutkan tentang batilnya hadits ini. Sebagaimana pula hal ini dinukil dari Ibnul Jauziy, beliau memasukkan hadits ini dalam Mawdhu’at (kumpulan hadits palsu).
Dinukil dari Al Mizziy bahwa hadits ini memiliki banyak jalan, sehingga bisa naik ke derajat hasan.
Adz Dzahabiy mengumpulkan riwayat hadits ini dari banyak jalan. Beliau mengatakan bahwa sebagian riwayat hadits ini ada yang lemah (wahiyah) dan sebagian lagi dinilai baik (sholih).
Dengan demikian semakin jelaslah bagi para penuntut ilmu mengenai status hadits ini. Mayoritas ulama menilai hadits ini sebagai hadits dho’if (lemah). Ibnu Hibban menilai hadits ini adalah hadits yang bathil. Sedangkan Ibnul Jauziy menilai bahwa hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu).
Adapun perkataan Al Mizziy yang mengatakan bahwa hadits ini bisa diangkat hingga derajat hasan karena dilihat dari banyak jalan, pendapat ini tidaklah bagus (kurang tepat). Alasannya, karena banyak jalur dari hadits ini dipenuhi oleh orang-orang pendusta, yang dituduh dusta, suka memalsukan hadits dan semacamnya. Sehingga hadits ini tidak mungkin bisa terangkat sampai derajat hasan.
Adapun Al Hafizh Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan bahwa sebagian jalan dari hadits ini ada yang sholih (dinilai baik). Maka kita terlebih dahulu melacak jalur yang dikatakan sholih ini sampai jelas status dari periwayat-periwayat dalam hadits ini. Namun dalam kasus semacam ini, penilaian negatif terhadap hadits ini (jarh) lebih didahulukan daripada penilaian positif (ta’dil) dan penilaian dho’if terhadap hadits lebih harus didahulukan daripada penilaian shohih sampai ada kejelasan shohihnya hadits ini dari sisi sanadnya. Dan syarat hadits dikatakan shohih adalah semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat). Inilah syarat-syarat yang dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab Mustholah Hadits (memahami ilmu hadits).
Seandainya Hadits Ini Shohih
Seandainya hadits ini shohih, maka ini tidak menunjukkan kemuliaan negeri China dan juga tidak menunjukkan kemuliaan masyarakat China. Karena maksud dari ‘Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China’ –seandainya hadits ini shohih- adalah cuma sekedar motivasi untuk menuntut ilmu agama walaupun sangat jauh tempatnya. Karena menuntut ilmu agama sangat urgen sekali. Kebaikan di dunia dan akhirat bisa diperoleh dengan mengilmui agama ini dan mengamalkannya.
Dan tidak dimaksudkan sama sekali dalam hadits ini mengenai keutamaan negeri China. Namun, karena negeri China adalah negeri yang sangat jauh sekali dari negeri Arab sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan dengan negeri tersebut. Tetapi perlu diingat sekali lagi, ini jika hadits tadi adalah hadits yang shohih. Penjelasan ini kami rasa sudah sangat jelas dan gamblang bagi yang betul-betul merenungkannya.
Wallahu waliyyut taufiq.
Sumber: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 22/233-234, Asy Syamilah
Keterangan:
  1. Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
  2. Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
  3. Hadits dho’if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
Pangukan, Sleman, 13 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Perselisihan adalah Rohmat

اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Perselisihan umatku adalah rahmat.
  • TIDAK ADA ASALNYA. Para pakar hadits telah berusaha untuk mendapatkan sanadnya, tetapi mereka tidak mendapatkannya, sehingga al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam al-Jami’ ash-Shaghir: “Barangkali saja hadits ini dikeluarkan dalam sebagian kitab ulama yang belum sampai kepada kita!”[1] Syaikh Al-Albani berkata, “Menurutku ini sangat jauh sekali, karena konsekuensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luput dari umat Islam. Hal ini tidak layak diyakini seorang muslim.
  • Al-Munawi menukil dari as-Subki bahwa dia berkata: “Hadits ini tidak dikenal ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if (lemah), maupun maudhu’ (palsu).” Dan disetujui oleh Syaikh Zakariya al-Anshori dalam Ta’liq Tafsir Al-Baidhowi 2/92.[2]
  • Sebagian ulama berusaha untuk menguatkan hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini sangat populer sekali. Sering ditanyakan dan banyak di kalangan imam hadits menilai bahwa ungkapan ini tidak ada asalnya, tetapi al-Khothobi menyebutkan dalam Ghoribul Hadits…Ucapannya kurang memuaskan dalam penisbatan hadits ini tetapi saya merasa bahwa hadits ini ada asalnya”.[3]
  • Sungguh, ini adalah suatu hal yang sangat aneh sekali dari Al-Hafizh Ibnu Hajar –semoga Allah mengampuninya-. Bagaimana beliau merasa bahwa hadits ini ada asalnya, padahal tidak ada sanadnya?! Bukankah beliau sendiri mengakui bahwa mayoritas ulama ahli hadits telah menilai hadits ini tidak ada asalnya?! Lantas, kenapa harus menggunakan perasaan?!
  • Kami juga mendapati sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Su’ud al-Funaisan berjudul “Ikhtilaf Ummati Rohmah, Riwayatan wa Diroyatan”, beliau menguatkan bahwa hadits ini adalah shohih dari Nabi. Ini juga suatu hal yang aneh, karena semua ulama yang beliau katakan mengeluarkan hadits ini seperti Al-Khothobi, Nashr al-Maqdisi dan lain-lain. Mereka hanyalah menyebutkan tanpa membawakan sanad. Lantas, mungkinkah suatu hadits dikatakan shohih tanpa adanya sanad?![4]

C. MENGKRITISI MATAN HADITS
Makna hadits ini juga dikritik oleh para ulama. Berkata al-Allamah Ibnu Hazm setelah menjelaskan bahwasanya ini bukanlah hadits:
“Dan ini adalah perkataan yang paling rusak. Sebab, jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzab. Ini tidak mungkin dikatakan seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzab”.[5]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga berkata:
“Termasuk diantara dampak negatif hadits ini adalah banyak diantara kaum muslimin yang terus bergelimang dalam perselisihan yang sangat runcing diantara madzhab empat, dan mereka tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan hadits yang shohih sebagaimana perintah para imam mereka, bahkan menganggap madzhab seperti syari’at yang berbeda-beda!!
Mereka mengatakan hal ini padahal mereka sendiri mengetahui bahwa diantara perselisihan mereka ada yang tidak mungkin disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada dalil, inilah yang tidak mereka lakukan! Dengan demikian mereka telah menisbatkan kepada syari’at suatu kontradiksi! Kiranya, ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ini bukanlah dari Allah karena mereka merenungkan firman Allah tentang Al-Qur’an (yang artinya):

Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
(QS. An-Nisa: 82)
Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa perselisihan bukanlah dari Allah, lantas bagaimana kiranya dijadikan sebagai suatu syari’at yang diikuti dan suatu rahmat?!
  • Karena sebab hadits ini dan hadits-hadits serupa, banyak diantara kaum muslimin semenjak imam empat madzhab selalu berselisih dalam banyak masalah, baik dalam aqidah maupun ibadah. Seandainya mereka menilai bahwa perselisihan adalah tercela sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud dan selainnya serta didukung dengan banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang banyak sekali, maka niscaya mereka akan berusaha untuk bersatu. Namun, apakah mereka akan melakukannya bila mereka meyakini bahwa perselisihan adalah rohmat?!!
Kesimpulannya, perselisihan adalah tercela dalam syari’at[6]. Maka sewajibnya bagi setiap muslim untuk berusaha semaksimal mungkin untuk melepaskan diri dari belenggu perselisihan, karena hal itu merupakan faktor lemahnya umat, sebagaimana firman Allah (yang artinya):

Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
(QS. Anfal: 46)
Adapun ridho dengan perselisihan, apalagi menamainya sebagai suatu rohmat, maka jelas ini menyelisihi ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas mencela perselisihan,  tidak ada sandarannya kecuali hadits yang tidak ada asalnya dari Rasulullah ini”. [7]
D. SALAH MENYIKAPI PERSELISIHAN
Saudaraku seiman yang kami cintai, kita semua mengetahui bahwa perselisihan adalah suatu perkara yang tidak bisa dielakkan, baik dalam aqidah, ibadah maupun muamalat. Allah berfirman (yang artinya):
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.
(QS. Hud: 118-119)
Fakta di atas mengharuskan kita untuk memahami masalah perselisihan, karena ternyata banyak juga orang yang terpeleset dalam kesalahan dalam memahaminya:
  • Ada yang menjadikan perselisihan sebagai senjata pamungkas untuk menyuburkan kesalahan, kebid’ahan bahkan kekufuran, sehingga mereka memilih pendapat-pendapat nyeleneh seperti bolehnya acara tahlilan, manakiban, bahkan berani menentang hukum-hukum Islam dengan alasan “Ini adalah masalah khilafiyyah“, “Jangan mempersulit manusia“.  Bahkan, betapa banyak sekarang yang mengkritisi masalah-masalah aqidah dan hukum yang telah mapan dengan alasan  ”kemodernan zaman” dan “kebebasan berpendapat” sebagaimana didengungkan oleh para cendekiawan  zaman sekarang.[8]
  • Sebaliknya, ada juga yang sesak dada menghadapi perselisihan, sekalipun dalam masalah fiqih dan ruang lingkup ijtihad ulama, sehingga ada sebagian mereka yang tidak mau sholat di belakang imam yang berbeda pendapat dengannya seperti masalah sedekap ketika i’tidal, mendahulukan lutut ketika sujud, menggerakan jari ketika tasyahhud dan lain sebagainya. Ini juga termasuk kesalahan.
E. MEMAHAMI PERSELISIHAN
Oleh karena itu, sangat penting kiranya kita jelaskan sikap yang benar dalam menyikapi perselisihan agar kita tidak berlebihan dan tidak juga meremehkan. Dari keterangan para ulama tentang masalah ini[9], dapat kami tarik suatu kesimpulan bahwa perselisihan itu terbagi menjadi dua macam:

Pertama: Perselisihan Tercela
Yaitu setiap perselisihan yang menyelisihi dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau hadits atau ijma’ ulama. Hal ini memiliki beberapa gambaran:
  1. Perselisihan dalam masalah aqidah atau hukum yang telah mapan, seperti perselisihan ahli bid’ah dari kalangan Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah dan sebagainya.[10]
  2. Perselisihan orang-orang yang tidak memiliki alat ijtihad seperti perselisihan orang-orang yang sok pintar, padahal mereka adalah bodoh.[11]
  3. Perselisihan yang ganjil sekalipun dari seorang tokoh ulama, karena ini terhitung sebagai ketergelinciran seorang ulama yang tidak boleh diikuti[12].
  • Jadi, tidak semua perselisihan itu dianggap. Misalnya, perselisihan Iblis Liberal bahwa semua agama sama, ingkar hukum rajam dan potong tangan, hukum waris, jilbab dan sebagainya, ini adalah perselisihan yang tidak perlu dianggap dan didengarkan. Demikian juga perselisihan Mu’tazilah modern bahwa tidak ada siksa kubur, Nabi Isa tidak turun di akhir zaman, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tidak perlu dilirik. Demikian pula perselisihan sebagian orang yang berfiqih ganjil bahwa wanita nifas tetap wajib sholat, daging ayam haram, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tak perlu digubris.
وَ لَيْسَ كُلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا
إِلاَّ خِلاَفًا لَهُ حَظٌّ مِنَ اْلنَّظَرِ
Tidak seluruh perselisihan itu dianggap
Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang kuat[13].
Kedua: Perselisihan Yang Tidak Tercela
Yaitu perselisihan di kalangan ulama yang telah mencapai derajat ijtihad dalam masalah-masalah ijtihadiyyah, biasanya dalam masalah-masalah hukum fiqih. Imam Syafi’i berkata: “Perselisihan itu ada dua macam, pertama hukumnya haram dan saya tidak mengatakannya pada yang jenis kedua”.[14] Hal ini memiliki beberapa gambaran:
  1. Masalah yang belum ada dalilnya secara tertentu.
  2. Masalah yang ada dalilnya tetapi tidak jelas.
  3. Masalah yang ada dalilnya yang jelas tetapi tidak shohih atau diperselisihkan keabsahannya atau ada penentangnya yang lebih kuat[15].
Jadi, dalam masalah-masalah yang diperselisihkan ulama hendaknya kita sikapi dengan lapang dada dengan tetap saling menghormati saudara kita yang tidak sependapat, tanpa saling menghujat dan mencela sehingga menyulut api perselisihan.
  • Imam Qotadah: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqih”.[16]
  • Imam Syafi’I pernah berkata kepada Yunus ash-Shadafi: “Wahai Abu Musa, Apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?!”.[17]
Sekalipun hal ini tidak menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab untuk mencari kebenaran dan pendapat terkuat, karena yang kita cari semua adalah kebenaran. Camkanlah firman Allah, yang artinya:
Jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nisa’: 59)
F. Kesimpulan
Kesimpulan yang penulis sampaikan adalah sebagaimana yang dikatakan Syaikh Al-Allamah Muhammad bin ShalihAl- ‘Utsaimin
  • “Termasuk  di antara pokok-pokok Ahli Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah khilafiyah adalah apabila perselisihan tersebut bersumber dari ijtihad dan masalah tersebut memungkinkan untuk ijtihad, maka mereka saling toleransi, tidak saling dengki, bermusuhan atau lainnya, bahkan mereka bersaudara sekalipun ada perbedaan pendapat di antara mereka.
  • Adapun masalah-masalah yang tidak ada ruang untuk berselisih di dalamnya, yaitu masalah-masalah yang bertentangan dengan jalan para shahabat dan tabi’in, seperti masalah aqidah yang telah yang telah tersesat di dalamnya orang yang tersesat dan tidak dikenal perselisihan tersebut kecuali setelah generasi utama, maka orang yang menyelisihi shahabat dan tabiin tadi tidak dianggap perselisihannya”.[18]
ibnuramadan.wordpress.com
CATATAN KAKI:

[1] Syaikh Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari juga mengomentari ucapan ini, katanya: “Merupakan aib tatkala penulis (as-Suyuthi) mencantumkan hadits palsu, bathil dan tidak ada asalnya ini, apalagi dia juga tidak mendapati ulama yang mengeluarkannya”. (Al-Mudawi li ‘Ilalil Jami’ Shoghir waSyarhi Munawi 1/235).
[2] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah: 57
[3] Al-Maqoshidul Hasanah hlm. 47 oleh as-Sakhowi.
[4] Lihat At-Tahdzir Min Ahadits Akhto’a fi Tashihiha Ba’dhul Ulama hlm. 99-103 oleh Ahmad bin Abdur Rahman al-’Uwain.
[5] Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (5/64)
[6] Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: “Perselisihan bukanlah rohmat, persatuan itulah yang rohmat, adapun perselisihan maka ia adalah kejelekan dan kemurkaan sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud”. (Syarh Mandhumah Al-Ha’iyah hlm. 193).
[7] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah 1/142-143 -secara ringkas-.
[8] Lihat risalah yang bagus Manhaj Taisir Al-Mu’ashir oleh Abdullah bin Ibrahim ath-Thowil.
[9] Lihat secara luas tentang masalah perselisihan dalam kitab Al-Ikhtilaf wa Maa Ilaihi oleh Syaikh Muhammad bin Umar Bazimul dan Al-Ikhtilaf Rohmah Am Niqmah? oleh Syaikh Amin Al-Haj Muhammad Ahmad.
[10] Lihat Al-Muwafaqot 5/221 oleh asy-Syathibi, Qowathi’ul Adillah 2/326 oleh as-Sam’ani.
[11] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 20/254.
[12] Lihat Qowa’idul Ahkam 1/216 oleh al-’Izzu bin Abdis Salam.
[13] Lihat al-Itqan fi Ulum Qur’an 1/24 oleh al-Hafizh as-Suyuthi.
[14] Ar-Risalah hlm. 259.
[15] Irsal Syuwath ‘ala Man Tatabba’a Syawadz hlm. 73 oleh Shalih bin Ali asy-Syamroni.
[16] Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814-815.
[17] Dikeluarkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 10/16, lalu berkomentar: “Hal ini menunjukkan kesempurnaan akal imam Syafi’I dan kelonggaran hatinya, karena memang para ulama senantiasa berselisih pendapat”.
[18] Syarh Al-ushul As-Sittah hal.155-156.
http://ibnuramadan.wordpress.com

الأحد، ٢ محرم ١٤٣٣ هـ

Hadits Lemah dan Palsu Dalam Bab Ilmu dan Amal Bab Ilmu dan Amal

  1. Perselisihan adalah Rohmat 
  2. Mencari Ilmu Sampai ke Cina 
  3. Antara Pemimpin dan Ulama 
  4. Ulama Seperti Nabi-nabi Bani Isroil
  5. Mendapatkan Pahala Syahid 
  6. Semua Manusia Mati Kecuali yang Berilmu
  7. Keutamaan Berpikir Dibanding Beribadah
  8. Kisah Ijtihad Mu'adz bin Jabal 
  9. Taklid Terhadap Orang Alim 
  10. Perumpamaan Orang Belajar
  11. Keluaraga dan Tetangga Tidak Butuh Orang Lain
  12. Ali bin Abi Tholib Sebagai Pintu Ilmu
  13. Ajari Anak Berenang dan Memanah
  14. Mengajari Surat al-Maidah dan an-Nur
  15. Nabi Sulaiman Memilih Ilmu
  16. Menimbang Tinta Ulama Dengan Darah Syuhada
  17. Ilmu yang Tidak Bermanfaat
  18. Menjaga Empat Puluh hadits
  19. Menilai Hadits dengan al-Quran
  20. Benda Seorang Mukmin yang Hilang
  21. Perkara Tanpa "Bismillahirrohmanirrohim" Akan Terputus
  22. Jangan Mencari-cari Apa yan Didiamkan Allah
  23. Ilmu Faroidh adalah Separo Ilmu
  24. Satu Kesulitan Tidak Mengalahkan Dua Kemudahan
  25. EmpatHal yang Tidak Kenyang
  26. Mengasihani Tiga Golongan Manusia 
  27. Belajarlah Ilmu Agama Sebelum Menjadi Kepala Keluarga
  28. Belajarlah Separo Agama dari Aisyah
  29. Melihat Wajah Ulama adalah Ibadah
  30. Dunia Ladang Akhirat
  31. Menuntut Ilmu Bagi Muslimah

Larangan Isbal, Melabuhkan Pakaian Hingga Menutup Mata Kaki

LARANGAN ISBAL [MELABUHKAN PAKAIAN HINGGA MENUTUP MATA KAKI]

Oleh
Abu Abdillah Ibnu Luqman

Isbal artinya melabuhkan pakaian hingga menutupi mata kaki, dan hal ini terlarang secara tegas baik karena sombong maupun tidak. Larangan isbal bagi laki-laki telah dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat banyak, maka selayaknya bagi seorang muslim yang telah ridho Islam sebagai agamanya untuk menjauhi hal ini. Namun ada sebagian kalangan yang dianggap berilmu, menolak (larangan) isbal dengan alasan yang rapuh seperti klaim mereka kalau tidak sombong maka dibolehkan?! Untuk
lebih jelasnya, berikut kami paparkan perkara yang sebenarnya tentang isbal agar menjadi pelita bagi orang-orang yang mencari kebenaran. Amin. Wallahul Musta'an.

A. DEFINISI ISBAL
Isbal secara bahasa adalah masdar dari “asbala”, “yusbilu-isbaalan”, yang bermakna “irkhaa-an”, yang artinya; menurunkan, melabuhkan atau memanjangkan. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnul 'Aroby rahimahullah dan selainnya adalah ; memanjangkan, melabuhkan dan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak. [Lihat Lisanul 'Arob, Ibnul Munzhir 11/321, Nihayah Fi Gharibil Hadits, Ibnul Atsir 2/339]

B. BATAS PAKAIAN MUSLIM
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam segala perkara, termasuk dalam masalah pakaian. Rasulullah telah memberikan batas-batas syar'I terhadap pakaian seorang muslim, perhatikan hadits-hadits berikut:.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga di atas mata kaki. Dan apa yang turun dibawah mata kaki maka bagiannya di neraka. Barangsiapa yang menarik pakaiannya karena sombong maka Alloh tidak akan melihatnya” [Hadits Riwayat. Abu Dawud 4093, Ibnu Majah 3573, Ahmad 3/5, Malik 12. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah 4331]

Berkata Syaroful Haq Azhim Abadi rahimahullah : “Hadits ini menunjukkan bahwa yang sunnah hendaklah sarung seorang muslim hingga setengah betis, dan dibolehkan turun dari itu hingga di atas mata kaki. Apa saja yang dibawah mata kaki maka hal itu terlarang dan haram.[ Aunul Ma’bud 11/103]

Dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memegang otot betisku lalu bersabda, “Ini merupakan batas bawah kain sarung. Jika engkau enggan maka boleh lebih bawah lagi. Jika engkau masih enggan juga, maka tidak ada hak
bagi sarung pada mata kaki” [Hadits Riwayat. Tirmidzi 1783, Ibnu Majah 3572, Ahmad 5/382, Ibnu Hibban 1447. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah 1765]

Hadits-hadits di atas mengisyaratkan bahwa panjang pakaian seorang muslim tidaklah melebihi kedua mata kaki dan yang paling utama hingga setengah betis, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya yang banyak

Dari Abi Juhaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata.
Aku melihat Nabi keluar dengan memakai Hullah Hamro' seakan-akan
saya melihat kedua betisnya yang sangat putih” [Tirmidzi dalam Sunannya 197, dalam Syamail Muhammadiyah 52, dan Ahmad 4/308]

'Ubaid bin Khalid Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Tatkala aku sedang berjalan di kota Madinah, tiba-tiba ada seorang di belakangku sambil berkata, "Tinggikan sarungmu! Sesungguhnya hal itu lebih mendekatkan kepada ketakwaan." Ternyata dia adalah Rasulullah. Aku pun bertanya kepadanya, "Wahai Rasulullah, ini Burdah Malhaa (pakaian yang mahal). Rasulullah menjawab, "Tidakkah pada diriku terdapat teladan?" Maka aku melihat sarungnya hingga setengah betis”.[Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashor Syamail Muhammadiyah, hal. 69]
.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memanjangkan celananya hingga melebihi mata kaki. Beliau menjawab :’ Panjangnya qomis, celana dan seluruh pakaian hendaklah tidak melebihi kedua mata kaki, sebagaimana telah tetap dari hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam” [Majmu' Fatawa 22/14]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “ Walhasil, ada dua keadaan bagi laki-laaki; dianjurkan yaitu menurunkan sarung hingga setengah betis, boleh yaitu hingga di atas kedua mata kaki. Demikian pula bagi wanita ada dua keadaan; dianjurkan yaitu menurunkan di bawah mata kaki hingga sejengkal, dan dibolehkan hingga sehasta” [Fathul Bari 10/320]

C. DALIL-DALIL HARAMNYA ISBAL
Pertama.
“Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih. Rasulullah menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang sebanyak tiga kali, Abu Dzar berkata : "Merugilah mereka! Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab : "Orang yang suka memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu." [Hadits Riwayat Muslim 106, Abu Dawud 4087, Nasa'i 4455, Darimi 2608. Lihat
Irwa': 900]

Kedua.
“Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat." [Hadits Riwayat Bukhari 5783, Muslim 2085]

Ketiga.
“Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi ersabda : "Apa saja yang di bawah kedua mata kaki di dalam neraka." [Hadits Riwayat Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad 2/96]

Keempat
“Dari Mughiroh bin Syu'bah Radhiyallahu ‘anhu, adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Wahai Sufyan bin Sahl! Janganlah kamu isbal, sesungguhnya Allah tidak menyenangi orang-orang yang isbal." [Hadits Riwayat. Ibnu Majah 3574, Ahmad 4/26, Thobroni dalam Al-Kabir 7909. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 2862]

Kelima
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan” [Hadits Riwayat Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 770]

Keenam
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, : "Saya lewat di hadapan Rasulullah sedangkan sarungku terurai, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menegurku seraya berkata, "Wahai Abdullah, tinggikan sarungmu!" Aku pun meninggikannya. Beliau bersabda lagi, "Tinggikan lagi!" Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa menjaga sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya, "Seberapa tingginya?" "Sampai setengah betis."[Hadits Riwayat Muslim 2086. Ahmad 2/33]

Berkata Syakh Al-Albani rahimahullah, : “Hadits ini sangat jelas sekali bahwa kewajiban seorang muslim hendaklah tidak menjulurkan pakaiannya hingga melebihi kedua mata kaki. Bahkan hendaklah ia meninggikannya hingga batas mata kaki, walaupun dia tidak bertujuan sombong, dan di dalam hadits ini terdapat bantahan kepada orang-orang yang isbal dengan sangkaan bahwa mereka tidak melakukannya karena sombong! Tidakkah mereka meninggalkan hal ini demi mencontohkan perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Ibnu Umar?? Ataukah mereka merasa hatinya lebih suci dari Ibnu Umar?” [Ash-Shahihah: 4/95]

Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid :” Dan hadits-hadits tentang pelarangan isbal mencapai derajat mutawatir makna, tercantum dalam kitab-kitab shohih, sunan-sunan, ataupun musnad-musnad, diriwayatkan dari banyak sekali oleh sekelompok para sahabat. Beliau lantas menyebutkan nama-nama sahabat tersebut hingga dua puluh dua orang. Lanjutnya : “ Seluruh hadits tersebut menunjukkan larangan yang sangat tegas, larangan pengharaman, karena di dalamnya terdapat ancaman yang sangat keras. Dan telah diketahui bersama bahwa sesuatu yang terdapat ancaman atau kemurkaan, maka diharamkan, dan termasuk dosa besar, tidak dihapus dan diangkat hukumnya. Bahkan termasuk hukum-hukum syar'i yang kekal pengharamannya."[Hadd Tsaub Wal Uzroh Wa Tahrim Isbal Wa Libas Syuhroh, hal. 19]

D. DAMPAK NEGATIF ISBAL
Isbal kehaaramannya telah jelas, bahkan di dalam isbal terdapat beberapa kemungkaran yang tidak bisa diangga remeh, berikut sebagiannya..

1. Menyelisihi Sunnah
Menyelesihi sunnah termasuk perkara yang tidak bisa dianggap enteng dan ringan, karena kewajiban setiap muslim untuk mengamalkan setiap sendi dien dalam segala perkara baik datangnya dari Al-Qur’an atau Sunnah.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rosul, takut akan di timpa cobaan (fitnah) atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nur : 63]

2. Mendapat Ancaman Neraka
Berdasarkan hadits yang sangat banyak berisi ancaman neraka [2], bagi yang melabuhkan pakaiannya, baik karena sombong taupun tidak.

[3]. Termasuk Kesombongan
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah : “Kesimpulannya isbal melazimkan menarik pakaian, dan menarik pakaian melazimkan kesombongan, walaupun pelakunya tidak bermaksud sombong” (Fathul Bari 10/325). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan” [Hadits Riwayat Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishohihkan oleh Al-Albany dalam As-Shohihah 770]

Berkata Ibnul Aroby rahimahullah : “Tidak boleh bagi laki-laki untuk memanjangkan pakaiannya melebihi kedua mata kaki, meski dia mengatakan : “Aku tidak menariknya karena sombong”, karena larangan hadits secara lafazh mecakup pula bagi yang tidak sombong, maka tidak boleh bagi yang telah tercakup dalam larangan, kemudian berkata : “Aku tidak mau melaksanakannya karena sebab larangan tersebut tidak ada pada diriku”, ucapan semacam ini merupakan klaim yang tidak bisa diterima, bahkan memanjangkan pakaian itu sendiri menunjukkan kesombongan” [Fathul Bari 10/325]

4. Menyerupai Wanita
Isbal bagi wanita disyari’atkan bahkan wajib, dan mereka tidak diperkenankan untuk menampakkan anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Orang yang isbal berarti mereka telah menyerupai wanita dalam berpakaian, dan hal itu terlarang secara tegas, berdasarkan hadits.

Dari Ibnu Abbas ia berkata ; “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [Hadits Riwayat Bukhari 5885, Abu Dawud 4097, Tirmidzi 2785, Ibnu Majah 1904]

Imam At-Thobari berkata : “Maknanya tidak boleh bagi laki-laki menyerupai wanita di dalam berpakaian dan perhiasan yang menjadi kekhususan mereka, demikian pula sebaliknya” [Fathul Bari II/521]

Dari Khorsyah bin Hirr berkata : “Aku melihat Umar bin Khaththab, kemudian ada seorang pemuda yang melabuhkan sarungnya lewat di hadapannya. Maka Umar menegurnya seraya berkata : “Apakah kamu orang yang haidh?” pemuda tersebut menjawab : “Wahai amirul mukminin apakah laki-laki itu mengalami haidh?” Umar menjawab ; “Lantas mengapa engkau melabuhkan sarungmu melewati mata kaki?” kemudian Umar minta diambilkan guting lalu memotong bagian sarung yang melebihi kedua mata kakinya”. Kharsyah berkata : “Seakan-akan aku melihat benang-benang di ujung sarung itu” [Hadits Riwayat Ibnu Syaibah 8/393 dengan sanad yang shohih, lihat Al-Isbal Lighoiril Khuyala, hal. 18]

Akan tetapi laa haula wal quwwata illa billah, zaman sekarang yang katanya modern, patokan berpakaian terbalik, yang laki-laki melabuhkan pakaianya menyerupai wanita dan tidak terlihat darinya kecuali wajah dan telapak tangan!, Yang wanita membuka pakaianya hingga terlihat dua betisnya bahkan lebih dari itu. Yang lebih tragis lagi terlontar cemoohan dan ejekan kepada laki-laki yang memendekkan pakaiannya karena mencontoh Nabi dan para sahabat. Manusia zaman sekarang meman aneh, mereka mencela dan mengejek para wanita yang memanjangkan jilbabnya karena taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulnya, akhirnya kepada Alloh kita mengadu” [Al-Isbal Lighoiril Khuyala hal. 18]

5. Berlebih Lebihan
Tidak ragu lagi syari’at yang mulia ini telah memberikan batas-batas berpakaian, maka barangsiapa yang melebihi batasnya sungguh ia telah belebih-lebihan.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [Al-A’raf : 31]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Apabila pakaian melebihi batas semestinya, maka larangannya dari segi isrof (berlebih-lebihan) yang berakhir pada keharaman” [Fathul Bari II/436]

6. Terkena Najis
Orang yang isbal tidak aman dari najis, bahkan kemungkinan besar najis menempel dan mengenai sarungnya tanpa ia sadari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Naikkan sarungmu karena hal itu lebih menunjukkan ketakwaan dalam lafazh yang lain lebih suci dan bersih” [Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364, dishohihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashar Syama’il Muhammadiyyah hal. 69]

F. SYUBHAT DAN JAWABANNYA
Orang yang membolehkan isbal melontarkan syubhat yang cukup banyak, di antara yang sering muncul ke permukaan adalah klaim mereka bahwa isbal jika tidak sombong dibolehkan. Oleh karena itu penulis perlu menjawab dalil-dalil yang biasa mereka gunakan untuk membolehkan isbal jika tidak bermaksud sombong.

Pertama : Hadits Ibnu Umar
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat!" Abu Bakar bertanya, "Ya Rasulullah, sarungku sering melorot kecuali bila aku menjaganya!" Rasulullah menjawab, "Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong."[Hadits Riwayat Bukhari 5784]

Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah, "Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong.", bahwasanya isbal tidak sombong ibolehkan?!

Jawaban.
Berkata Syaikh Al-Albani : “Dan termasuk perkara yang aneh, ada sebagian orang yang mempunyai pengetahuan tentang Islam, mereka berdalil bolehnya memanjangkan pakaian atas dasar perkatan Abu Bakar ini. Maka aku katakan bahwa hadits di atas sangat gamblang bahwa Abu Bakar sebelumnya tidak memanjangkan pakaiannya, sarungnya selalu melorot tanpa kehendak dirinya dengan tetap berusaha untuk selalu menjaganya. Maka apakah boleh berdalil dengan perkataan ini sementara perbedaannya sangat jelas bagaikan matahari di siang bolong dengan apa yang terjadi pada diri Abu Bakar dan orang yang selalu memanjangkan pakaiannya? Kita memohon kepada Allah keselamatan dari hawa nafsu. (As-Shohihah 6/401). Kemudian Syaikh berkata di tempat yang lain : “Dalam hadits riwayat Muslim, Ibnu Umar pernah lewat di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan sarungnya melorot, Rasulullah menegur Ibnu Umar dan berkata, "Wahai Abdulloh, naikkan sarungmu!". Apabila Ibnu Umar saja yang termasuk sahabat yang mulia dan utama, Nabi tidak tinggal diam terhadap sarungnya yang melorot bahkan memerintahkannya untuk mengangkat sarung tersebut, bukankah ini menunjukkan bahwa isbal itu tidak berkaitan dengan sombong atau tidak sombong?! [Mukhtashar Syamail Muhammadiyyah hal. 11]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
”Artinya : Sesungguhnya pada yang demikian ini benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang mempunyai hati atau apa yang menggunakan
pendengarannya, sedang ia menyaksikannya” [Qoof : 37]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Dan adapun orang yang berhujjah dengan hadits Abu Bakar, maka kita jawab dari dua sisi. "Pertama, bahwa salah satu sisi sarung Abu Bakar kadang melorot tanpa disengaja, maka beliau tidak menurunkan sarungnya atas kehendak dirinya dan ia selalu berusaha menjaganya. Sedangkan orang yang mengklaim bahwa dirinya isbal karena tidak sombong, mereka menurunkan pakaian mereka karena kehendak mereka sendiri. Oleh karena itu, kita katakan kepada mereka, 'Jika kalian menurunkan pakaian kalian di bawah mata kaki tanpa niat sombong, maka kalian akan diadzab dengan apa yang turun di bawah mata kaki dengan Neraka. Jika kalian menurunkan pakaian karena sombong, maka kalian akan diadzab dengan siksa yang lebih pedih, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan berbicara kepada kalian, tidak dilihat oleh-Nya, tidak disucikan oleh-Nya dan bagi kalian adzab yang pedih”. Yang kedua, Abu Bakar mendapat rekomendasi dan tazkiah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia bukan termasuk orang yang sombong, maka, apakah kalian juga mendapat tazkiah dan rekomendasi yang serupa?" [Fatawa Ulama Balad Haram hal. 1140]

”Artinya : Maka ambillah hal itu untuk menjadi pelajaran, hai orang yang mempunyai pandangan” [Al-Hasyr : 2]
.
Kedua : Mereka yang membolehkan isbal jika tidak sombong, menyangka bahwa hadits-hadits larangan isbal yang bersifat mutlak (umum), harus ditaqyid (dikaitkan) ke dalil-dalil yang menyebutkan lafazh khuyala' (sombong), sesuai dengan kaidah ushul fiqh, "Hamlul Mutlak 'alal Muqoyyad Wajib" (membawa nash yang mutlak ke muqoyyad adalah wajib).

Jawaban.
Kita katakan kepada mereka, “Itulah sejauh-jauhnya pengetahuan mereka.[An-Najm : 30]
.
Kemudian kaidah ushul "Hamlul Muthlaq 'alal Muqoyyad" adalah kaidah yang telah disepakati dengan syarat-syarat tertentu. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak perkataan ahlul ilmi dalam masalah ini.

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : “Isbal pakaian apabila karena sombong maka hukumannya Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak mengajak bicara dan tidak mensucikannya, serta baginya adzab yang pedih. Adapun apabila tidak karena sombong, maka hukumannya disiksa dengan neraka apa yang turun melebihi mata kaki, berdasarkan hadits.

Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih: orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”. Juga sabdanya : “Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, Adapun yang isbal karena tidak sombong, maka hukumannya sebagaimana dalam hadits : “Apa saja yang dibawah kedua mata kaki di dalam Neraka”. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mentaqyidnya dengan sombong atau tidak, maka tidak boleh mentaqyid hadits ini berdasarkan hadits yang lalu. Juga Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu telah berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga di atas mata kaki, dan apa yang turun di bawah mata kaki, maka bagiannya di neraka, barangsiapa yang menarik pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya”.

Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dua permisalan dalam satu hadits, dan ia menjelaskan perbedaan hukum keduanya karena perbedaan balasannya. Keduanya berbeda dalam perbuatan dan berbeda dalam hukum dan balasan. Maka selama hukum dan sebabnya berbeda, tidaklah boleh membawa yang mutlak ke muqoyyad (khusus), di antara syaratnya adalah bersatunya dua nash dalam satu hukum, apabila hukumnya berbeda, maka tidaklah ditaqyid salah satu keduanya dengan yang lain. Oleh karena itu ayat tayammum yang berbunyi :”Basuhlah mukamu dan tanganmu dengan tanah” tidak ditaqyid dengan ayat wudhu, “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku” maka tayammum itu tidak sampai siku, karena mengharuskan perlawanan”[As’ilah Muhimmah hal, 29-30, Lihat pula Fatawa Syaikh Utsaimin 2/921, Isbal Lighoiril khuyala hal. 26]

Kesimpulannya ; Kaidah "Membawa nash yang mutlak ke muqoyyad wajib" adalah kaidah yang telah muttofak alaihi (disepakati) pada keadaan bersatunya hukum dan sebab. Maka tidak boleh membawa nash yang mutlak ke muqoyyad apabila hukum dan sebabnya berbeda, atau hukumnya berbeda dan sebabnya sama! [Lihat Ushul Fiqh Al-Islamy 1/217 karya Dr Wahbah Az-Zuhaili] [3]

G. KESIMPULAN
Dari pembahasan di muka, dapat disimpulkan:

1. Isbal adalah memanjangkan pakaian hingga menutupi mata kaki, baik karena sombong maupun tidak, dan hal ini haram dilakukan bagi laki-laki.
2. Batasan pakaian seorang laki-laki ialah setengah betis, dan dibolehkan hingga di atas mata kaki, tidak lebih.
3. Hukum isbal itdak berlaku bagi wanita, bahkan mereka disyari'atkan menurunkan pakaiannya hingga sejengkal di bawah mata kaki.
4. Isbal pakaian tidak hanya sarung, berlaku bagi setiap jenis pakaian berupa celana, gamis, jubah, sorban dan segala sesuatu yang menjulur ke bawah.
5. Isbal karena sombong adalah dosa besar, oleh karena itu pelakunya berhak tidak dilihat oleh Allah pada hari kiamat, tidak disucikan-Nya, dan baginya adzab yang pedih.
6. Isbal jika tidak sombong maka baginya adzab neraka apa yang turun di bawah mata kaki.
7. Isbal memiliki beberapa kemungkaran, sebagaimana telah berlalu penjelasannya
8. Klaim sebagian orang yang melakukan isbal dengan alasan tidak sombong merupakan klaim yang tidak bisa diterima. Maka bagi mereka, kami sarankan untuk memperdalam ilmu dan merujuk kalam ulama dalam masalah ini.

Demikian yang bisa kami sajikan tentang masalah isbal. Semoga tulisan ini ikhlas karena mengharap wajah-Nya dan bermanfaat bagi diri penulis serta kaum muslimin di manapun berada, amiin. Wallahu a'lam.

[[Disalin dari majalah Al Furqon, Edisi : 03/IV/Syawal 1425H. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat : Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
http://almanhaj.or.id